“ Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Hukum dan Kekuasaan ” Disusun Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Sosiologi Hukum s umeber ; ann...
“Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap
Hukum dan Kekuasaan”
Disusun
Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah
Sosiologi Hukum
sumeber ; anniahera |
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Dalam kehidupan bermasyarakat sebuah aturan sangat
dibutuhkan untuk mewujudkan ketertiban, keamanan, ketentraman, serta
tercapainya keadilan ditengah masyarakat. Hal ini merupakan salah satu fungsi
hukum yang harus di kedepankan secara bersama-sama disetiap sendi kehidupan
umat manusia. Dalam pembuatan suatu produk hukum, tidak hanya memandang dari
segi yuridisnya saja. Artinya pembentukan sebuah produk hukum tidak hanya
berdasarkan nilai hukum yang harus ditetapkan namun juga harus memandang aspek
filosofis dan aspek sosiologis. Kedua aspek ini tentu bertujuan supaya hukum
mengakar serta diterima oleh masyarakat.
Pandangan tentang hukum dan kekuasaan tidaklah tunggal,
antara kaum idealis yang berorientasi das sollen dan kaum empiris yang melihat
hukum sebagai das sein, memberikan pandangan yang berbeda, namun kedua
pandangan itu mempunyai pendapat yang sama bahwa seharusnya hukum itu lebih supreme dari kekuasaan. Ada 2 fungsi yang dijalankan oleh hukum
itu sendiri, yaitu sebagai sarana kontrol sosial dan sebagai sarana untuk
melakukan social engineering.
Hukum merupakan suatu sarana elit yang memegang
kekuasaaan dan sedikit banyaknya dipergunakan sebagai alat untuk mempertahankan
kekuasaan, atau untuk menambah serta mengembangkannya. Secara sosiologis, Elit tersebut
merupakan suatu golongan kecil dalam masyarakat yang mempunyai kedudukan yang
tinggi atau tertinggi dalam masyarakat dan yang biasanya berasal dari lapisan
atas atau menengah atas. Baik-buruknya suatu kekuasaan tergantung dari
bagaimana kekuasaan tersebut dipergunakan. Artinya, baik burukya kekuasaan
senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang
sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat tersebut lebih dahulu. Hal ini
merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan
bahkan bagi setiap untuk organisasi yang teratur. Akan tetapi, karena sifat dan
hakikatnya, kekuasaan tersebut supaya dapat bermanfaat harus ditetapkan ruang
lingkup, arah, dan batas-batasnya. Untuk itu diperlukan hukum yang ditetapkan
oleh penguasa itu sendiri yang hendak dipegang dengan teguh.[1]
Masyarakat kelas bawah (miskin) ketika berhadapan dengan
hukum tidak dapat berbuat apa-apa. Lain halnya dengan pelanggar hukum yang
kemudian dapat kita klasifikasikan sebagai white color crime. Untuk
klasifikasi yang terakhir ini sangat sulit disentuh dan bahkan cenderung di
lindungi. Hal ini terjadi karena mereka memiliki kekuatan ekonomi dan sosial
yang cukup tinggi dan kuat. Selain itu, rata-rata adalah sebagai pemangku
kepentingan dan pemangku kekuasaan yang
strategis di negeri ini[2].
Berdasarkan kepada hubungan hukum dan kekuasaan, dalam
hal ini Sosiologi Hukum sebagai cabang ilmu pengetahuan yang secara analitis
dan empiris menganalisis atau mempelajari hubungan timbal balik antara hukum
dan gejala-gejala sosial lainnya. Sosiologi hukum senantiasa menguji kesahihan
empiris dari suatu peraturan atau pernyataan hukum, sehingga mampu memprediksi
sesuatu hukum sesuai dan/atau tidak sesuai dengan masyarakat.
B.
Perumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, maka
perumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana
Hubungan Hukum Dan Kekuasaan?
2.
Bagaimana
Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Hukum Dan Kekuasaan?
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hubungan
Hukum Dan Kekuasaan
Konsep negara hukum
mengalami pertumbuhan menjelang abad XX yang ditandai dengan lahirnya
konsep negara hukum modern (welfare state), dimana tugas negara sebagai penjaga
malam dan keamanan mulai berubah. Konsep nechwachterstaat bergeser menjadi
welvarsstaat. Negara tidak boleh pasif tetapi harus aktif turut serta dalam
kegiatan masyarakat, sehingga kesejahteraan bagi semua orang terjamin. Adanya
larangan bagi pemerintah untuk campur tangan dalam urusan warga negara baik di
bidang sosial maupun bidang ekonomi (staats-onthouding dan laissez faire)
bergeser kearah gagasan baru bahwa pemerintah harus bertanggungjawab atas
kesejahteraan rakyat[3].
Menurut Bagir Manan yang dikutip oleh Ni’ Matul Huda,
konsep negara hukum moderen merupakan perpaduan antara konsep negara hukum dan
negara kesejahteraan. Di dalam konsep ini tugas negara atau pemerintah tidak
semata-mata sebagai penjaga keamanan atau ketertiban masyarakat saja, tetapi
memikul tanggungjawab mewujudkan keadilan sosial, kesejahteraan umum dan
sebesar-sebesarnya kemakmuran rakyat.
Menurut Julus Sthal, konsep negara hukum yang disebutnya
dengan istilah rechstaat itu mencakup
empat elemen penting, yaitu :
1.
Perlindungan
hak asasi manusia.
2.
Pembagian
atau pemisahan kekuasaan.
3.
Pemerintah
berdasarkan undang-undang.
4.
Peradilan
tata usaha negara.
Sedangkan A.V. Dicey mengetengahkan tiga ciri penting
dalam setiap negara hukum yang disebutnya dengan istilah the rule of law
sebagai berikut :
1.
Supermasi
absolut atau predominasi dari regular
law untuk menentang pengaruh dari
arbutary power dan meniadakan kesewenang-wenanganm prerogratif atau
discretionary authority yang luas dari pemerintah.
2.
Persamaan di
hadapan hukum atau pendudukan yang sama dari semua golongan kepada ordinary law
of the land yang dilaksanakan oleh ordinary court; ini berarti bahwa tidak ada
orang yang berada di atas hukum; tidak ada peradilan administrasi negara;
3.
Konstitusi
adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum konsitusi bukanlah
sumber tetapi merupakan konsekuensi dari hak-hak individu yang dirumuskan dan
ditegakan oleh peradilan.
Meskipun antara konsep rechsstaat dengan the rule of law mempunyai perbedaan latar
belakang, tetapi pada dasarnya keduanya berkenaan dengan perlindungan atas
hak-hak kebebasan sipil warga negara dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang
kekuasaan negara. Dalam perspektif
sosiologi, gagasan the rule of law mengandung empat makna, yaitu:
1.
Otoritas
harus diberi bentuk hukum dan bahwa kekuasaan dilaksanakan dengan cara-cara
menurut hukum.
2.
Hukum menjadi
responsif terhadap kepentingan konsumen dan bertujuan untuk
mendepersonalisasikan kekuasaan untuk menundukan pelaksanaanya kepada
aturan-aturan, sehingga melindungi warga negara dari tindakan sewenang-wenang
penguasa.
3.
Hukum tidak
menentang kekuasaan, malahan dapat memperkuatnya agar tidak merosot menjadi
pemaksa kehendak oleh penguasa.
4.
Tidak netral
terhadap kepentingan-kepentingan sosial, karena pemihakannya terhadap kelompok
yang kurang beruntung secara politik, ekonomi, dan sosial.
Kekuasaan dapat dirumuskan sebagai kemampuan yang
dimiliki seseorang atas dasar kekuatan hukum untuk mengubah menurut
kehendaknya, hak-hak, kewajiban-kewajiban, pertanggungjawaban, atau
hubungan-hubungan hukum lainnya, apakah oleh dirinya sendiri atau oleh pihak
lain. Kekuasaan yang bersifat publik berada di tangan seseorang sebagai wakil
atau alat dari fungsi-fungsi negara, terdiri dari berbagai bentuk badan
perwakilan (legislatif), kehakiman (judicial), dan pemerintahan (executive
authority)[4].
Menurut L.J van Apeldoorn
yang berpendapat bahwa hukum adalah kekuasaan. Sepintas seolah-olah
disamakan antara hukum dengan kekuasaan. Akan tetapi, dari penjelasan di bagian
lain dapat diketahui bahwa hukum tidak sama dengan kekuasaan. Penjelasan
tersebut adalah : “Akan tetapi tidak berarti, bahwa hukum tidak lain daripada
kekuasaan belaka; tidak berarti bahwa hukum dan kekuasaan adalah dua perkataan
untuk hal yang satu dan sama. Hukum adalah kekuasaan, akan tetapi kekuasaan
tidak selamanya hukum. Might is not right, kata pepatah Inggris yang terkenal.
Pencuri berkuasa atas barang yang dicurinya, akan tetapi, belum berarti bahwa
ia berhak atas barang itu. Bahkan kekuasaan dan hukum itu saling kita hadapkan
sebagai suatu pertentangan.”[5]
Hubungan antara hukum dengan kekuasaan dirumuskan secara
lebih ringkas oleh Mochtar Kusmaatmadja dalam Slogan bahwa: “Hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan
tanpa hukum adalah kelaliman.”
Pada intinya, prinsip-prinsip pemisahan atau pembagian
kekuasaan dimaksudkan untuk membatasi kekuasaan negara dari kemungkinan menjadi
sumber penindasan dan tindak sewenang-wenang para penguasa. Pengaturan dan
pembatasan kekuasaan itulah wewenang para penguasa. Pengaturan dan pembatasan
kekuasaan itulah yang menjadi ciri konstitutosionalisme dan sekaligus tugas
utama konstitusi, sehingga kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan dapat
dikendalikan dan diminimalkan.
Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan
yudikatif itu sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai
dengan prinsip cheks and balances. Dengan adanya prinsip cheks and balances ini
maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan
sebaik-baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat
penyelenggaraan negara ataupun
pribadi-pribadi yang kebetulan sedang
menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah
dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya[6].
B.
Pandangan Sosiologi Hukum Terhadap Hukum Dan
Kekuasaan
Sosiologi hukum (Rechtsociologie/Rechtssoziologie)
merupakan cabang ilmu pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan
secara analitis empiris tentang persoalan hukum dihadapkan dengan
fenomena-fenomena lain di masyarakat. Hubungan timbal balik antara hukum dengan
gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam
mempelajari sosiologi hukum[7].
Sosiologi hukum bertujuan untuk menjelaskan mengapa suatu praktik-praktik hukum
di dalam kehidupan sosial masyarakat itu terjadi[8].
Hukum merupakan perwujudan nilai-nilai mengandung arti,
bahwa kehadirannya adalah untuk
melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakatnya.
Dengan demikian, hukum belum merupakan institusi teknik yang kosong moral atau
steril terhadap moral. Salah satu perbincangan kritis mengenai hukum adalah
tuntutan agar hukum memberikan keadilan,
menurut Fuller hukum tidak dapat diterima sebagai hukum, kecuali apabila
bertolak dari moralitas tertentu. Hukum harus mampu memenuhi ukuran moralitas
tertentu. Hukum harus mampu memenuhi ukuran moral tertentu dan ia tidak layak
disebut hukum apabila memperlihatkan kegagalan-kegagalan sebagai berikut :
1.
Kegagalan
untuk mengeluarkan aturan (to achief rules). Suatu sistem hukum harus
mengandung aturan-aturan, artinya ia tidak boleh memuat putusan-putusan yang
bersifat ad hoc;
2.
Kegagalan
untuk mengumumkan aturan tersebut kepada public (to puclicize). Aturan yang
telah dibuat harus diumumkan;
3.
Kegagalan
karena menyalahgunakan perundang-undangan yang berlaku surut (retroactive
legislation). Tidak boleh ada aturan yang berlaku surut, oleh karena aturan
seperti itu tidak dapat dipakai sebagai pedoman tingkah laku. Membolehkan
aturan berlaku surut akan merusak integratis aturan yang ditujukan untuk
berlaku pada waktu yang akan datang kegagalan membuat aturan yang mudah
dimengerti (understandable). Aturan harus disusun dalam rumusan yang dapat
dimengerti;
4.
Kegagalan
karena membuat aturan-aturan yang bertentangan (contradictory rules). Suatu
sistem tidak boleh mengandung aturan yang bertentangan satu sama lain;
5.
Kegagalan
karena menuntut dilakukannya perilaku di luar kemampuan orang diatur (beyond
the powers of the affected). Aturan-aturan tidak boleh mengandung tuntutan yang
melebihi apa yang dapat dilakukan;
6.
Kegagalan
karena sering melakukan perubahan. Tidak boleh ada kebiasaan untuk sering
mengubah aturan sehingga menyebabkan orang kehilangan orientasi;
7.
Kegagalan
menyerasikan aturan dengan praktik penerapannya. Harus ada kecocokan antara
peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaannya sehari-hari[9].
Jika dilihat dalam pandangan sosiologi hukum, di
Indonesia hukum hanya sebagai rekayasa sosial. Tidak seperti halnya dalam
suasana tradisional, dimana hukum lebih merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah
sosial yang sudah tertanam dalam masyarakat. Hukum sekarang sudah menjadi
sarana yang sarat dengan keputusan politik. Dengan demikian, hukum berubah
menjadi sarana implementasi keputusan politik dan dengan demikian kehilangan
akarnya pada kehidupan tradisional. Dewasa ini hukum tidak lagi melihat ke
belakang, melainkan ke depan dengan cara banyak melakukan perubahan terhadap
keadaan kini menuju kepada masa depan yang dicita-citakan. Dengan demikian,
hukum bukan lagi mempertahankan status quo, melainkan banyak melakukan
perubahan sosial.
Di Indonesia, keadaan hukum dan kekuasaan
hanya ingin membicarakan kejadian yang dapat diamati dari luar secara
murni. Mereka tidak mau sedikit pun memasukkan
ke dalam kajiannya hal-hal yang tidak dapat diamati dari luar, seperti
nilai, tujuan, maksud dan sebagainya. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan
oleh Karl Marx, “Hukum merupakan sarana yang dipergunakan oleh pihak yang
memegang kekuasaan untuk mempertahankan kekuasaannya.”
Hukum itu sendiri sebenarnya juga adalah kekuasaan. Hukum
merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya
seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, intelegensia dan
moral). Baik buruknya suatu kekuasaan, tergantung dari bagaimana kekuasaan
tersebut dipergunakan. Artinya, baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur
dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau
disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang
mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk
organisasi yang teratur. Sebab Konflik sosial pada dasarnya adalah suatu bentuk
interaksi yang ditandai oleh keadaan saling mengancam, menghancurkan, melukai,
dan melenyapkan di antara pihak-pihak yang terlibat[10].
Dalam pengertian hukum, kekuatan yang sah adalah kekuatan
yang diatur secara eksplisit dalam kaidah-kaidah hukum positif. Penggunaan
kekuatan semacam inilah yang diartikan sebagai kekuasaan. Terlihat di sini
terdapat adanya dukungan yang erat antara hukum dengan kekuasaan, sebab kekuasaan sedemikian akan memungkinkan
seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan akan mampu untuk
menggerakkan seseorang atau sekelompok orang lain untuk mewujudkan perilaku tertentu
yaitu perilaku hukum.
Membandingkan secara ekstrem antara hukum modern dan
hukum kuno memberikan perspektif sosiologi tersendiri. Hukum kuno muncul secara
spontan melalui perilaku dan interaksi antara para anggota masyarakat. Hampir
tidak ada kesenjangan apa yang diatur dan dikerjakan oleh masyarakat. Keadaan
yang demikian itu tidak dijumpai pada hukum modern, yang dibuat secara sengaja
oleh suatu badan tersendiri untuk tujuan-tujuan yang ditentukan oleh badan
tersebut. Hukum modern memiliki semua kelengkapan dan perlengkapan untuk dapat
bertindak secara jauh lebih keras daripada hukum kuno, mulai dari badan
legislatif, yudikatif, polisi, penjara dan sebagainya.
Keadaan semacam di Indonesia membawa akibat bahwa
saluran-saluran untuk mengubah hukum dapat dilakukan melalui beberapa badan.
Artinya, apabila hukum harus berubah, agar sesuai dengan kebutuhan masyarakat,
maka perubahan-perubahan tersebut tidak hanya tergantung pada suatu badan
semata-mata. Apabila karena faktor-faktor prosedural suatu badan mengalami
kemacetan, maka badan-badan lainnya dapat melaksanakan perubahan-perubahan
tersebut. Hal ini sedikit banyaknya juga tergantung pada pejabat-pejabat hukum
dari badan-badan tersebut. Sebagaimana dikatakan oleh Daiel S. Lev:
“Yang menjadi hukum ialah praktik sehari-hari oleh
pejabat hukum. Kalau kelakuan pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim,
jaksa-jaksa, advokat-advokat, pokrol bambu, polisi-polisi, dan pegawai-pegawai
pemerintahan pada umumnya berubah, ini berarti bahwa hukum sudah berubah
walaupun undang-undangnya sama saja seperti dahulu,”[11]
Kekuasaan mempunyai peranan yang sangat penting
karena dapat menentukan nasib berjuta-juta
manusia. Baik buruknya kekuasaan tadi senantiasa harus diukur dengan
kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang telah ditentukan. Apabila kekuasaan dihubungkan
dengan hukum, maka ada hal yang menonjol yaitu para pembentuk, penegak, maupun
pelaksana hukum.
Penegakkan hukum
merupakan proses yang melibatkan manusia di dalamnya. Sosiologi hukum melihat
penegakkan hukum dengan pengamatan yang demikian itu. Sesuai dengan tradisi
emprik sosiologi hukum, maka dalam pengamatann terhadap kenyataan penegakkan
hukum, faktor manusia sangat terlibat dalam usaha menegakkan hukum tersebut.
penegakkan hukum itu bukan suatu proses logis semata, melainkan sarat dengan
keterlbatan manusia di dalamnya. Hal itu berarti bahwa penegakkan hukum tidak
dapat dilihat sebagai suatu proses logis melainkan sesuatu yang kompleks.
Masuknya faktor manusia menjadikan penegakkan hukum sarat dengan dimensi
perilaku dengan semua faktor yang menyertainya.
Negara hanya menyediakan fasilitas bagi terjadinya
penegakkan hukum, sedang selebihnya diserahkan kepada rakyat untuk bertindak
atau tidak bertindak dengan menggunakan fasilitas yang disediakan tersebut.
kendatipun tidak ada diskriminasi dalam penggunaan fasilitas atau hukum
tersebut, tetapi dalam kenyataan di lapangan, tidak semua oranng berada pada
posisi yang sama untuk menikmati fasilitas yang disediakan oleh hukum. para
pelaku yang memiliki kekuasaan lebih besar akan mendominasi penegakkan hukum.
kekuasaan tersebut berupa pengetahuan, status, hubungan-hubungan sosial dan
kemampuan ekonominya. Dengan kekuasaannya itu, mereka lebih mampu mengendalikan
dan memanfaatkan penegakkan hukum.
Indonesia dari masa ke masa, menonjolkan kekuasaan yang
determinan diatas hukum, kekuasaan seperti mesin yang berjalan melindas rakyat
sebagai subjek yang diperintah dan dikendalikan demi kepentingan. Di Indonesia
pada saat ini, Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk
hukum sangat ditentukan atau diwarnai oleh imbangan kekuataan dan konfigurasi
politik yang melahirkannya.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Pada tingkat peradaban dunia sekarang ini, Kekuasaan
memegang peranan yang fundamental daripada Hukum. Hukum menjadi kaidah-kaidah
yang dibuat dengan sengaja oleh suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk
itu. Pembicaraan mengenai efektivitas Kekuasaan masuk kedalam pembicaran
mengenai kehadiran hukum sebagai suatu instrument kebijaksanaan dari suatu
badan atau satuan politk tertentu. Pada tingkat peradaban sekarang ini, orang
memang cenderung berpendapat bahwa hukum adalah tidak lain instrument dari
putusan atau keinginan politik. Dengan demikian, pembuat kekuasaan menjadi
sarat dengan kepentingan-kepentingan tertentu. Proses untuk mendapatkan
kekuasaan tidak lagi dalam batas – batas
yang steril dari lingkungan sosial dengan semua kekuatan dan
kepentingan. Pergumulan kepentingan-kepentingan.
Cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu
sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip
cheks and balances. Dengan adanya prinsip cheks and balances ini maka kekuasaan
negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan sebaik-baiknya sehingga
penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggaraan negara ataupun pribadi-pribadi yang Kebetulan sedang menduduki jabatan dalam
lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan
sebaik-baiknya.
Pandangan sosiologi hukum, hukum hanya sebagai rekayasa
sosial. Tidak seperti halnya dalam suasana tradisional, dimana hukum lebih
merupakan pembadanan dari kaidah-kaidah sosial yang sudah tertanam dalam
masyarakat. Hukum sekarang sudah menjadi sarana yang sarat dengan keputusan
politik. Dengan demikian, hukum berubah menjadi sarana implementasi keputusan
politik dan dengan demikian Hukum kehilangan akarnya pada kehidupan
tradisional. Hukum tidak lagi melihat ke belakang, melainkan ke depan dengan
cara banyak melakukan perubahan terhadap keadaan kini menuju kepada masa depan
yang dicita-citakan.
Daftar
Pustaka
Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum
Perbandingan Konstitusi, Total Media, Yogyakarta, 2010, Hlm. 35-36.
http://www.academia.edu/6850841/HubunganHukum
dengan Kekuasaan Menggugat Positivisme
Lili Rasjidi & Ira Thania Rasjidi,
Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju, Bandung, 2010, Hlm. 120.
Mahfud
Md, Pergulatan Politik Dan Hukum Di Indonesia, Gama Media,
Yogyakarta, 1999,Hlm. 4.
Muhammad Khambali, 2012, Pengantar
Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Cokroaminoto.
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa Transisi
Demokrasi, UII Pers, Yogyakarta,
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara
Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 107.
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum,
PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, Hlm. 3.
Soerjono Soekanto, “Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum”, Rajawali Pers, Jakarta, 1988, Hlm. 15.
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum
Perkembangan Metode Dan Pilihan Masalah,
Genta Publishing, 2010, Hlm. 67.
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum,
Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm. 8.
[1]
Soerjono Soekanto, “Pokok – Pokok Sosiologi Hukum”, Rajawali Pers, Jakarta,
1988, Hlm. 15.
[2]http://www.academia.edu/6850841/Hubungan_Hukum_dengan_Kekuasaan_menggugat_positivisme
[3]
Ni’matul Huda, Lembaga Negara dalam masa
Transisi Demokrasi, UII Pers, Yogyakarta, 2007, Hlm. 55.
[4] Lili
Rasjidi & Ira Thania Rasjidi, Pengantar Filsafat Hukum, CV. Mandar Maju,
Bandung, 2010, Hlm. 120.
[5]
Ellydar Chaidir & Sudi Fahmi, Hukum Perbandingan Konstitusi, Total Media,
Yogyakarta, 2010, Hlm. 35-36.
[6]
Ni’matul Huda, Hukum Tata Negara Indonesia, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta,
2007, Hlm. 107.
[7]
Saifullah, Refleksi Sosiologi Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2010, Hlm. 3.
[8]
Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2008, Hlm. 8.
[9]
Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode Dan Pilihan
Masalah, Genta Publishing, 2010, Hlm.
67.
[10]
Muhammad Khambali, 2012, Pengantar Sosiologi Hukum, Yogyakarta: Fakultas Hukum
Universitas Cokroaminoto.
[11]Mahfud Md, Pergulatan Politik Dan Hukum Di
Indonesia, Gama Media, Yogyakarta, 1999,Hlm. 4.
COMMENTS