Pengertian dan Sejarah Ahlusunah Wal Jamaah Ahlussunah Wal J ama’ah secara historis muncul atas dampak pergolakan politik dari pe...
Pengertian dan
Sejarah Ahlusunah Wal Jamaah
Ahlussunah Wal Jama’ah secara historis muncul atas dampak pergolakan politik dari peristiwa arbitrase
antara kelompok pendukung Khalifah Ali bin Abu Thalib dan pendukung Muawiyah
bin Abu Sufyan. Bersamaan peristiwa itu, kemudian umat Islam terpecah ke
berbagai golongan (firqah) diantaranya Syiah, Khawarij, Jabariyah,
Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah dan lain-lain.
Golongan ataupun firqah yang bermacam-macam
tersebut akhirnya meruncing ke dalam pertarungan ideologi sebagai doktrin pembenaran
bahwa golongan merekalah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dalam arti
sesungguhnya. Perdebatan, saling klaim serta pengkafiran antar golongan tak
bisa dihindarkan. Situasi ini akhirnya membuat gelisah sebagian para ulama yang semula merasa tidak ikut serta dalam pergolakan antar golongan tersebut
dengan posisi cenderung menghindar.
Diantara
sebagian ulama tersebut ialah Imam Hasan al Basri (639-728 M). Seorang yang
mempelopori komunitas keagamaan (pengajian ilmiah) yang mengembangkan aktifitas
keagamaan yang bersifat kultural dan ilimah. Komunitas ini berusaha mencari
kebenaran secara jernih serta menghindari pertikaian antar firqah.
Selanjutnya komunitas ini mengembangan
sistem pemikiran yang sejuk dan moderat sehinga tidak mudah untuk menuduh
bahkan menkafirkan golongan lain yang berbeda.
Komunitas
yang digagas oleh Imam Hasan Al Bashri di atas menjadi sebuah embrio dan
bermetamorfosis menjadi sebuah golongan yang besar bernama Ahlussunnah
Waljama’ah (Aswaja setelah terjadi formulasi pemikiran-pemikiran dari Imam
Syafi’i, Abu Hasan al Asy’ari dan Abu Mansur al Maturidi). Golongan ini
memiliki pemikiran dan pengamalan atau amaliyah beradasarkan
prinsip-prinsip Alquran, as-Sunnah (Hadis), Ijma’ sahabat dan lelaku ulama salafussaleh.
Dalam
konteks sejarah Nusantara, pengaruh Aswaja dibawa oleh para pendakwah yang
menyebarkan agama Islam di Nusantara. Wali Songo lah yang menjadi ujung tombak
penyebaran Islam ala Aswaja melalui pondok pesantren dalam segi pendidikan dan pengkaderan. Kemudian Pada
tahun 1926, para kyai pesantren akhirnya sepakat mendirikan sebuah organisasi
yang bernama Nahdhatul Ulama (NU). Organisasi ini bertujuan untuk membendung
arus pemikiran dan tradisi pesantren, sehingga Aswaja sebagai ideologi dapat
diimplementasikan dalam berbagai bidang termasuk diantaranya pendirian
organisasi Mahasiswa yang bernama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).
Ahlussunnah
Wal Jamaah atau Aswaja secara bahasa berasal dari Ahlun yang mempunyai arti golongan, Sunnah yang dalam pengertiannya adalah perilaku Rasullullah SAW,
dan Jamaah adalah golongan yang
dimaksud disini mencakup dari para Sahabat dan Tabiin. Jadi, Ahlussunnah Wal
jamaah adalah golongan yang berpegang teguh pada sunnah atau perilaku
Rasulullah SAW yang juga diikuti para sahabat dan tabiin.
Pengertian di atas bukan sesuatu hal yang tidak berdasar.
Terdapat hadis yang dijadikan dasar oleh golongan Aswaja sebagai dalil Naqli
(Normatif). Hadis tersebut sebagai berikut diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari
Mu’awiyyah. dari Rasulullah bersabda :
“Telah pecah ummat Yahudi menjadi 71
golongan, dan telah pecah ummat Nasroni 72 golongan, dan ummatku akan pecah
menjadi 73 golongan yang 72 golongan masuk neraka dan hanya 1 (satu) yang masuk
surga (yang selamat hanya satu) lalu para sahabat bertanya : siapakah yang
selamat itu..? Nabi menjawab: apa yang hari ini aku kerjakan dan para sahabatku.”
Didalam
hadis lain dalam kitab Al-Milal wan Nihal karangan Syaikh Ahmad Abdul Karim juz
1 Nabi Bersabda :
“Umatku akan pecah menjadi 73 golongan
yang selamat hanya satu firqoh sedang yang lainnya binasa. Nabi ditanya :
Siapakah yang selamat itu? Nabi menjawab : Ahlussunah Wal Jama’ah, Nabi ditanya
lagi : Siapakah Ahlussunah Wal Jama’ah itu? Nabi menjawab: Apa yang aku dan
sahabatku pegang.”
Aswaja
Sebagai Madzhab
Sejak
kelahiran NU (Nahdhatul Ulama) yang dipelopori beberapa ulama besar pesantren
seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Hasbullah, dan KH. Bisri Syamsuri pada tahun
1926 M, Aswaja mengalami pergesaran makna. Sebagai konfigurasi lintas sejarah,
Aswaja mengalami tiga fase perkembangan;
Pertama;
tahap embriona pemikiran sunni dalam dalam bidang teologi bersifat eklektik
(al-Jam’u), yaitu menampung segala perbedaan kemudian dipilih pendapat yang
dianggap palig benar. Fase ini dipelopori oleh Imam Hasan Al Bashri beserta
murid-muridnya .
Kedua; fase dimana
keberhasilan seorang Imam Syafi’i menetapkan hadits sebagai sumber hukum Islam
kedua setelah Alquran dalam kostruksi hukum Islam. Kemudian Imam Syafi’i
melahirkan metode usul fiqh yang menjadi permulaan kajian dan diskusi baik
dalam bidang teologi, fikih, sosial (muamalah), politik (siyasah) dan tasawf
lebih hidup dikalangan ulama Sunni (Aswaja).
Ketiga;
fase dimana rumusan pemahaman Sunni yang menolak rasionalisme dogma di satu
pihak, dan sebagian menerima metode
rasional dalam memehami agama. Proses ini dilakukan oleh dua tokoh dari tempat
yang bebeda, yakni Abu Hasan Al Asy’ari (wafat
935 M) di Mesopotamia (Irak) dan Abu Mansur Al Maturidi (wafat 944 M) di Samarkand.
Adapun yang dimaksud dengan Aswaja sebagai Mazhab adalah
pengertian yang berasal dan termaktub dalam Qonun Asasi yang dirumuskan oleh Syaikh K.H. M. Hasyim Asy’ari berdasarkan seleksi beliau
terhadap mazhab-mazhab yang telah diformulasikan pada zaman Abbasiyah. Yaitu;
“Dalam ilmu aqidah/teologi
mengikuti salah satu dari Abu Hasan al-Asy’ari dan Abu Mansur al-Maturidi.
Dalam syari’ah/fiqh mengikuti salah satu Imam empat: Abu Hanifah, Malik bin
Anas, Muhammad bin Idris Al-Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal. Dalam
tashawuf/akhlaq mengikuti salah satu dua Imam: Junaid al-Baghdadi dan Abu Hamid
al-Ghazali.”
Awaja sebagai Manhaj al Fikr (Metode Berfikir)
Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) meletakkan Aswaja sebagai manhaj al fikr (metode berfikir). Pada 1997 diterbitkan sebuah buku
saku tulisan Sahabat Chatibul Umam Wiranu berjudul Membaca Ulang Aswaja (PB PMII,
1997). Buku ini merupakan penjelasan atas konsep dasar Aswaja sebagai manhaj
al fikr yang tidak lepas dari gagasan Dr. KH Said Agil Siradj yang
dipresentasikannya dalam acara seminar yang diselenggarakan PB PMII awal tahun
90-an.
Dr. KH. Said Aqil Siradj
mengemukakan, “Ahlussunnah wal-jama’ah adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir
keagamaan yang mencakup semua aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar
moderasi (Tawasuth), menjaga keseimbangan (Tawazun) dan toleran (Tasamuh)”.
Maksud
dari gagasan diatas yakni perlunya Aswaja ditafsi ulang dengan memberikan
kebebasan lebih bagi para intelektual dan ulama untuk merujuk langsung kepada
metode yang digunakan oleh para ulama dalam mengkaji keilmuan. Aswaja bukan sebuah madzhab
melainkan sebuah metode dan prinsip berpikir dalam menghadapi
persoalan-persoalan agama sekaligus urusan sosial-kemasyarakatan; inilah makna
Aswaja sebagai manhaj al-fikr. Secara mudahnya, kader-kader PMII menjadikan Aswaja
sebagai landasan dalam aktivitas berpikirnya (yakni dari memunculkan gagasan
sampai finalnya suatu keputusan didasari atas prinsip tawasuth, tawazun,
tasamuh, ta’adul, ta’awun, dan Amar Ma’ruf Nahi Anil Munkar.
Selain
itu terdapat prinsip yang berkembang di pesantren dan menjadi tradisi bangsa
Indonesia dalam bermasyarakat yaitu gotong royong (Ta’awun). Prinsip gotong
royong sangat perlu untuk dijadikan dasar dalam berorganisasi. Turunan dari
prinsip Tawazun (keseimbangan) atau profesionalisme dalam berkribadian
menurunkan sebuah prisnsip keadilan (Ta’adul). Keadilan harus ditegakkan dalam
hal apapun demi terciptanya kemakmuran umat dan bangsa. Prinsip berikutnya adalah meneggakan kebaikan
dan mencgah kemungkaran atau dalam bahasa agama disebut Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar. Para ulama selalu mengingatkan akan pentingnya Amar Ma’ruf Nahi
mungkar sebagai kewajiban dari seorang Muslim yang taat.
Oleh
karena itu sebagai manhaj al fikr, PMII dalam berfikir dan bertindak
harus sesuai dengan prinsip-prinsip sebagai seorang Muslim dan Warga Negara
Indonesia yang baik. Prinsip-prinsip itu adalah 5 T dan Amar Ma’ruf Nahi
Mungkar, yaitu :
Tawasuth (Moderat)
Para ulama sepakat bahwa Ahlussunnah Wal Jamaah
adalah orang-orang yang memiliki metode berfikir keagamaan yang mencakup semua
aspek kehidupan dengan berlandaskan atas dasar moderasi. Maksud moderat disini
adalah dalam pengambilan hukum (istinbat) yaitu memperhatikan posisi akal di
samping itu memperhatikan posisi nash.
Aswaja memberikan posisi yang seimbang antara rujukan nash (Al-Qur’an) dan al-sunnah
(Al-Hadis) dengan penggunaan akal.
Jadi apabila diterapkan dan diambil sebuah contoh
kita tidak bisa memaknai atau mengikuti sebuah nalar kapitalisme-liberal dan
sosialisme-komunis di lain satu pihak. Kita harus tetap mempunyai prinsip dasar
yang dipegang, tidak mengartikan terlalu begajulan walau dalam konseptual
Aswaja menekankan moderat, tapi kita harus bisa memilah dan memilihnya dengan
serius , kritis, dan telitik untuk kemashlahatan umat dan bansa Indonesia.
Tasamuh (Toleran)
Sikap tasamuh disini direfleksikan dalam kehidupan
sosial, cara bergaul kader PMII sebagai seorang muslim dan warga negara harus
membaur dan menerima dengan baik orang lain atau komunitas lain sesama muslim
ataupun yang non muslim. Namun prinsip toleran disini juga harus tegas, tidak
diselewengkan dengan selalu inklusif terhadap pihak lain yang berusaha memecah
kesatuan NKRI atau yang berlaku tidak sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.
Selama golongan-golongan yang berbeda tersebut mampu menjadi kawan dengan bahu
membahu dalam mengawal kemerdekaan Indonesia. Sebab sudah bukan waktunya lagi untuk terkotak-kotak dalam kebekuan golongan,
apalagi agama.
Tawazun(Keseimbangan/Profesionalisme)
Tawazun disini mempunyai makna seimbang. Maksudnya
adalah setiap langkah dalam semua sendi kehidupan beragama baik dzohiriyah atau
bathiniyah senantiasa menggunakan prinsip keseimbangan yang terbalut dalam
konsep Hanblumminallah, Hablumminannaas, Hablumminal alam.
Keseimbangan disini menitik tekankan pada semua
kader PMII harus bisa menempatkan diri pada porsinya dan sesuai dengan
tugas-tugasnya. Contoh sederhananya, sebagai mahasiswa yang berorganisasi kita
harus bisa menempatkan diri pada tempatnya, ketik kita menjadi mahasiswa kita
harus bisa mengikuti semua mekanisme yang telah ada di kampus jangan sampai
kita mengacuhkannya sebab urusan organisasi. Begitu juga dalam organisasi kita
harus bisa menmpatkan diri jangan sampai kita menghalanginya sebab urusan
individu yang tidak penting.
Ta’adul (Keadilan)
Ta’aadul berasal dari kata ‘aadal yang berarti adil. Adil disini dimaknai bukan berarti harus
sama atau setara. Tapi adil disini dimaknai sesuai dengan tempat dan
kebutuhannya. Sebagai seorang kader PMII harus bisa menjadikan orang-orang
disekitarnya merasa adil. Maksud kaitanya adil yang luas, PMII bersama dengan
komponen masyarakat, baik nasional ataupun global, bersungguh bergerak
menegakkan prinsip keadilan bagi seluruh umat manusia (I’tidal) yang meliputi
bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, pendidikan, agama, kepercayaan
dan seluruh aspek kehidupan.
Ta’awun (Gotong royong)
Dalam sidang BPUPKI 01 Juni 1945, Bung Karno
mengungkapkan, “Gotong royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan
keringat bersama, perjuangan bantu membantu bersama. Amal semua buat
kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua”. Gotong royong pada
penerapan lelaku sehari-hari terwujud
dalam hal kerja bakti melakukan kegiatan, spirit kooperatif, dan tolong
menolong baik antar individu atau dengan kelompok.
Amar Ma’ruf Nahi Anil Munkar
Amar Ma’ruf berarti (menjalankan dan mengajak
kebaikan) dan Nahi Munkar (mencegah kemunkaran) sesuai risalah Rasulullah.
Semua prinsip diatas teraplikasikan pada aktivitas (tindakkan) Amar Ma’ruf Nahi
Munkar. Dalam Amar
Ma’ruf, kita tidak boleh menjalankannya dengan cara Munkar. Sebaliknya, dalam menjalankan
Nahi Mungkar, kita harus menjalankannya dengan cara yang Ma’ruf.
Aswaja sebagai ideolgi PMII harus
di implementasikan dalam sesuai dengan Trilogi pola gerakan PMII sebagai
berikut ialah:
Fikrah (Intelektual)
Sebagaimana ditetapkan dalam khittah Nahdiyyin 1926, Aswaja dijadikan
salah satu cara berfikir sehingga manjadikan PMII berbeda dengan kelompok islam
yang lain. Menurut PMII sebagai organisasi mahasiswa, merefleksikan pemikiran
Ahlussunnah Wal Jamaah dengan cara berfikir secara dialektis yakni
memperpadukan dalil Naqli (normatif), dalil Aqli (logika), dan dalil Waqi’I
(empiris).
Dalam hal ini, cara
berpikir atau paradigma pemikiran PMII dengan menggunakan dasar naqli yaitu Al
Quran dan Hadits. Kedua dasar itu yang disebut dengan Bayan Ilahi
dan Bayan Nabawi. Disamping itu penggunaan Bayan Aqli dan Bayan
Thabi’i (menggunakan akal dan juga juga menggunakan realitas empiris). Di
situlah ijma’ dan qiyas dikembangkan secara dinamis. Pemikiran PMII dalam
bidang tauhid, fiqih, ilmu sosial dan ilmu fisika terutama astronomi menggunakan keempat sumber itu.Inilah cara
berpikir Aswaja.
COMMENTS