BAB II PEMBAHASAN A. Latar Belakang Berdiri dan Berkembangnya Syarikat Islam 1. Dari Sarekat Dagang Islam men...
BAB II
PEMBAHASAN
A. Latar Belakang Berdiri dan
Berkembangnya Syarikat Islam
1. Dari
Sarekat Dagang Islam menuju Syarikat Islam
Pemikiran
mengenai negara islam sesungguhnya muncul sejak lama di Indonesia, khususnya
sejak munculnya organisasi Sarekat Islam (SI) yang awalnya bernama Sarekat dagang
Islam (SDI). SDI pertama kali didirikan di Sola pada tanggal 16 Oktober 1905
oleh Kyai Haji Samanhudi dibantu oleh M. Asmadimejo, M. Kertokirono, dan M. H.
Rojak. Motif utama dididrikannya organisasi ini adalah berusaha menerapkan
system ekonomi Islam di dunia perdagangan Indonesia, khususnya bagi pedagang
batik di Solo.
Sebelum
lahirnya SDI, terjadi diskriminasi tajam yang sengaja dilakukan pihak bangsawan
kepada masyarakat biasa. Juga sangat menonjol sikap angkuh dan superioritas
dari kalangan pedagang China kaya yang banyak mendominasi perdagangan pada saat
itu. Maka, SDI dimaksudkan sebagai benteng untuk menentang si superioritas dan
dominasi pedagang China sekaligus mendombrak deskriminasi bangsawan yang
bertindak sewenang-sewenang terhadap masyarakat awam. Sesungguhnya, di dalam
jiwa pendiri SDI ini terkandung maksud yang lebih jauh lagi, yaitu ingin
mengakkan Islam sebagai satu-satunya system yang berlaku di bumi Indonesia.
Namun,
karena keterbatasannya kemampuan kyai Haji Samanhudi ditambah pula dengan
kondisi penjajah yang sangat keras dan ganas dalam mengawasi dan menghambat
setiap bentuk gerakan bangsa Indonesia, maka untuk sementara waktu, ia hanya berorientasi
pada masalah ekonomi. Meskipun demikian, SDI tetap diamggap sebagai (miqad=awal pemberangkatan/starting poin)
bagi perjalanan sejarah ini. Menyadari akan keterbatasan kemampuan ini, Kyai
Haji Samanhudi selalu mencari dan menghubungi tokoh-tokoh Islam lainnya untuk
diajak bersama-sama mengelola lembaga perjuangan ini. Sekitar buylan Mei 1912
SDI memperoleh anggota baru dan merupakan tokoh tangguh yang ikut mewarnai
organoisasi, yaitu Haji Umar Said Cokroaminoto, setelah ada penyesuaian antara
keduanya dalam pandangan mengenai garis-garis perjuangan SDI.
Setelah
HOS Cokroaminoto bergabung dalam SDI, ia mencoba menyusun sebuah anggaran dasar
organisasi yang dapat diberlakukan di seluruh Indonesia dengan tidak
memperhatikan persyaratan dari residen Surakarta yang gigih menghambat
perkembangan organisasi tersebut. Ia mengemukakan untuk membentuk pan
islamisme, artrinya membentyuk kepemimpinan dunia Islam (Khalifatullah fi al-ardli) untuk merealisasikan gagasan itu ia
membagi tahapan-tahapan perjuangan sebagai berikut:[1]
·
Kemerdekaan Indonesia (mengusir pihak
penjajah dari Bumi Indonesia)
·
Kemerdekaan Islam Indonesia artinya Islam
sebagai satu-satunya system yang benar (haq) bisa berlaku di Indonesia dengan
sempurna dan dilindungi oleh kekuasaan (Negara Islam Indonesia)
·
Kemerdekaan diseluruh dunia, artinya
membentuk Khalifah fi al-ardhi/
struktur pemerintahannya memberlakukan hokum Islam sebagai penjabaran dari mulkiyah-tullah atau kerajaan Allah di
muka bumi.
Langkah
lanjut dari gagasan tersebut pada tanggal 11 November 1912, SDI diganti dengan
nama Sarekat Islam (SI) yang orientasinya bukan sekedar-sekedar masalah
ekonomi, melainkan sudah mencakup seluruh Minhijul
hayal (segala aspek kehidupan diwarnai dengan corak Islam saja). Dalam
Kongres SI pertama di Surabaya tahun1913, telah diputuskan untuk membantu
cabang-cabangnyan di seluruh tanah air yang dibagi tiga wilayah, yaitu wilayah
Jawa Barat (meliputi Sumatera dan pulau sekitarnya), Jawa Tengah (meliputi
Kalimantan), dan Jawa Timur (meliputi Sulawesi, Bali, Lombok, dan Ssumbawa).
Kemudian pada tahun berikutnya, bergabung pula beberapa tokoh Islam lainnya.
Latar
belakang ekonomis dari organisasi ini sebagai tanggapan (perlawanan) terhadap
perdagangan (penyalur) oleh orang cina. Peristiwa itu merupakan isyarat bagi
orang muslim bahwa telah tiba waktunya untuk menunjukan eksistensinya. Oleh
karena itu, para pendiri syarikat Islam mendirikan organisasi ini
bukan semata-mata untuk mengadakan perlawanan terhadap orang-orang cina, tetapi
juga untuk membuat fron melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putra.
Organisasi ini merupakan reaksi terhadap rencana krestenings politik dan kaum
zendig, perlawanan terhadap kecurangan-kecurangan dan penindasan-penindasan
dari pihak Belanda.
Dibandingkan
dengan Organisasi Budi Utomo, Syarikat Islam lebih berhasil sampai lapisan
bawah masyarakat dimana lapisan tersebut selama berabad-abad hampir tidak
mengalami perubahan dan paling banyak menderita. Mula-mula nama organisasi ini
adalah serikat dangang Islam (SDI) dibawah pimpinan H. Samanhudi. Kemudian
namanya diganti menjadi serikat Islam (SI) dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto.
Tujuan
organisasi ini sebagai mana tercantum dalam anggaran dasarnya ialah
1.
Untuk mengembangkan jiwa berdagang,
2.
Memberi bantuan kepada anggota-anggota
yang menderita kesukaran dan menemui kesulitan dalm bidang usaha,
3.
Memajukan pengajaran dan semua usaha yang
mempercepat naiknya derajat bumi putra, dan
4.
Menentang pendapat-pendapat yang keliru
tentang Islam atau prinsip hidup menurut perintah Agama
Pergantian
nama dari Serikat Dagang Islam ( SDI) menjadi Serikat Islam (SI) dilakukan
ketika kepemimpinan H.O.S. Cokroaminoto. ia diserahi untuk memimpin organisasi
ini pada tanggal 11 November 1912. Ia berusaha melebarkan sayapnya agar lebih
luas dengan menukar nama SDI menjadi SI. Akhirnya Serikat Islam
dibawah pimpinan Cokroaminoto memperoleh kemajuan yang gilang gemilang dan
anggotanya banyak tersebar diseluruh Indonesia.
Serikat
Islam pada tanggal 26 januari 1913 mengadakan kongres yang pertama di Surabaya
dengan dihadiri oleh puluhan ribu rakyat pendukungnya. Kongres tersebut oleh
Cokroaminoto digunakan untuk menghidupkan semangat rakyat Indonesia dan Serikat
Islam sebagai pembimbing dan pembawa semangat baru bagi pergerakan rakyat.
Sebab itulah serikat Islam lebih maju perjuanganya karena lebih mengutamakan
rakyat jelata.[2]
Pada tahun1914 telah berdiri 56 cabang Sarekat Islam dengan
pengakuan sebagai badan hukum. Cabang-cabang tersebut masih berdiri sebagai
Sarekat Islam Lokal karena badan pusat tidak ada. Demikianlah pengurus Pusat
Sarekat Islam mengajukan permohonan pengakuan sebagai badan hukum dengan
penjelasan bahwa pusat Sarekat Islam tidak mempunyai anggota perorangan, tetapi
anggotanya terdiri dari sarekat-sarekat Islam Lokal. Maka pada tanggal 18 Maret
1916 diputuskan oleh yang berwajib untuk pengakuan sebagai badan hukum.
Tujuan Sarekat Islam adalah membangun persaudaraan, persahabatan dan
tolong menolong diantara muslim dan mengembangkan perekonomian rakyat.
Keanggotaan Sarekat Islam terbuka untuk semua lapisan masyarakat muslim. Pada
waktu Sarekat Islam mengajukan diri sebagai Badan Hukum, pada awalnya Gubernur Jendral
Idenburg menolak Badan Hukum hanya diberikannya pada Sarekat Islam lokal.
Walaupun dalam anggaran dasarnya tidak terlihat adanya unsur politik, tapi
dalam kegiatannya Sarekat Islam menaruh perhatian besar terhadap unsur-unsur
politik dan menentang ketidakadilan serta penindasan yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial. Artinya Sarekat Islam memiliki jumlah anggota yang banyak
sehingga menimbulkan kekhawatiran pemerintah Belanda.
Seiring dengan perubahan waktu, akhirnya Sarekat Islam Pusat diberikan pengakuan
sebagai Badan Hukum pada bulan Maret tahun 1916. Setelah pemerintah
memperbolehkan berdirinya partai politik, Sarekat Islam berubah menjadi Partai
Politik dan mengirimkan wakilnya ke Volksraad tahun 1917.
Adapun Tokoh-tokoh pendiri pusat Sarekat Islam
dengan pengurus yang terdiri :
1. Haji Samanhudi (Ketua Kehormatan)
Samanhudi lahir di Desa Sondokoro, Karanganyar, Solo. Sebagai seorang anak
pedagang batik yang bernama Haji Mohammad Zen, H. Samanhudi membantu ayahnya
berdagang batik sampai ia dapat berdiri sendiri dengan membuka perusahaan batik
dalam tahun 1888. Ia berhasil dalam bidang ini sehingga ia dapat membuka cabang
perusahaannya di berbagai kota di pulau Jawa seperti Surabaya, Banyuwangi,
Tulungagung, Bandung dan Parakan. Pada tahun 1904 ia pergi ke Mekkah untuk naik
haji dan kembali pada tahun berikutnya.[3]
2. Umar Said Cokroaminoto
Umar Said Cokroaminoto dilahirkan dengan nama Raden Mas Oemar Said Tjokroaminoto yang kemudian dikenal dengan HOS.
Tjokroaminoto, terlahir dari perpaduan keluarga priyayi yang religius. Beliau lahir di Bakur, Madiun pada tanggal 16
Agustus tahun 1882.[4]
3. Agus Salim
Agus Salim dilahirkan di Kota Gedang, Bukittinggi pada
tanggal 8 Oktober 1884 sebagai seorang anak dari seorang pejabat pemerintah
yang juga berasal dari kalangan bangsawan dan agama. Ayahnya merupakan seorang
jaksa kepala pada Pengadilan Negeri Riau.[5]
4. Abdul Muis
Abdul Muis lahir di Sungai Puar, Bukittinggi pada
tanggal 3 Juli tahun 1878, beliau juga berasal dari keluarga bangsawan yang kuat
beragama.[6]
5. Haji Gunawan
6. Wondoamiseno
7. Sasrokardono
8. Soerjopranoto
9. Alimin Prawirodirejo
10. Semaun
2. Perkembangan
Syarikat Islam
Usaha
dan jasa Cokroaminoto dalam memimpin serikat Islam ialah:
1) Mengangkat
kaum bumiputra menjadi manusia yang sejati dan terhormat. Sebelumnya, para
pelajar sekolah dokter jawa dan rakyat biasa tidak boleh memakai sepatu dan
topi, bahkan tidak boleh memakai setelan (baju jas dan pantalonn sperti orang
belanda). Atas usaha Cokroaminoto, hal itu diubah.
2) Mengajarkan
dan memajukan rakyat dalam soal politik. Waktu itu rakyat dilarang membicarakan
politik. Atas usahnya maka rakyat boleh campur tangan dalam masalah politik.
3) Berusaha
mempersatukan umat Islam Indonesia dengan berkali-kali mengadakan kongres
Al-Islam. Dalam kongres V di Bandung tahun 1929 diputuskan untuk mengirimkan
dua orang utusan ke Mukhtamar Alam Islam di mekah yang diwakili oleh
Cokroaminoto dan K.H Mas Mansur. Dengan demikian, umat Islam di Indonesia dapat
mengadakan hubungan dengan umat Islam dunia.
4) Membela
dan mempertahankan kesucian agma Islam dari penghinaan dan caci maki yang
dilontarkan kepada Islam dan diri Nabi Muhammad SAW. Pada waktu itu banyak
penginaan dan cacian yang dilontarkan kepada Islam, lalu Cokroaminoto
mengerakan umat Islam untuk bangkit dan berdiri dalam mempertahankan kesucian
agma Islam.
5) Menerbitkan
surat kabar Utusan Hindia yang berisikan keluh ksah rakyat serta
hantaman kepada surat kabar yang berisi hinaan terhadap bangsa Indonesia.
6) Mengeluarkan
buku yang berjudul Islam dan Sosialisme yang menerangkan perkara sosialisme
aala Islam menurut teori dan praktek. Disamping itu, buku ini juga membendung
progpaganda sosialisme ala karl mark.
7) Pada
tahun 1929, Cokroaminoto berasama H. Agus Salim menerbitkan harian Fajar Asia,
majalah Al-jihad untuk menolak serangan dan cacian terhadap kesucian agama
Islam dan sebagai spirit untuk membangunkan umat Islam.[7]
HOS Cokroaminoto juga banyak menyumbangkan pemikiran
demi kemajuan bagi Sarekat Islam. Dalam anggaran dasar yang ia susun, banyak
mewarnai kehidupan Sarekat Islam berikutnya, sehingga dalam anggaran dasrnya
pun, Sarekat Islam secara keseluruhan (Kaffah) mencakup semua aspek kehidupan,
baik secara pemahaman akidah Islam, ekonomi, politik, social, budaya, dan
pemerintahan menurut tuntunan al-quran dan sunnah rasul.
Untuk merealisasikan gagasan membentuk dunia Islam
ini, HOS Cokroaminoto mempersiapkan kader-kader militant yang terdiri atas
mahasiswa-mahasiswa yang berjiwa progresif. Diantaranya, Soekarnoe yang
diharapkan dapat menghimpun dan mengelola kaum intelektual serta cendekiawan
dalam satu wadah dan satu visi dalam menentang penjajah. Semaon diarahkan untuk
menyadarkan masyarakat awam dan kepentingan kemerdekaan sekaligus melibatkan
perjuangan dalam menentang penjajah. Sementara, SM Katosuwiryo ditugaskan untuk
mempengaruhi para ulama dan para kyai untuk diajak bersam-sama dalam menegakkan
Islam menjadi satu-satunya system hidup di Indonesia. Meskipun akhirnya,
keduanya, yaitu Soekarnoe dan Semaon beberapa tahun kemudian dianggap
menyimpang dari garis-garis Sarekat Islam. Lalu membentuk wadah baru yang tidak
berdasarkan Islam dan tidak berpedoman kepada al-quran dan al-sunnah.
Selama di bawah kepemimpinan HOS Cokroaminoto,
Sarekat Islam diseluruh daerah me ancapai 435 cabang didukung oleh jutan
anggota. Sampai akhirnya, kegemilangan Sarekat Islam mulai menurun pada
periode-periode berikutnya dengan terdapatnya perselisihan-perselisihan
pendapat dalam internal pimpinan yang berafiliasi dengan orang lain, sehingga
memicu kader-kader yang tidak sejalan dengan prinsip dasar Sarekat Islam.
a. Kongres-Kongres Awal
Kongres pertama diadakan pada bulan Januari 1913 di Surabaya. Kongres Serikat Islam pertama pada
bulan Januari 1913 di Surabaya dengan hasil:
1. Menegaskan bahwa Serikat Islam bukan partai politik,
2. Serikat Islam tidak bermaksud melawan pemerintah
Belanda,
3. Memilih HOS Cokroaminoto sebagai ketua, dan
4. Menetapkan Surabaya sebagai pusat Serikat Islam
Dalam kongres ini Tjokroaminoto menyatakan bahwa SI bertujuan
untuk meningkatkan perdagangan antarbangsa Indonesia, membantu anggotanya yang
mengalami kesulitan ekonomi serta mengembangkan kehidupan relijius dalam
masyarakat Indonesia.
Kongres kedua diadakan di Surakarta yang menegaskan bahwa SI
hanya terbuka bagi rakyat biasa. Para pegawai pemerintah tidak boleh menjadi
anggota.
Pada tanggal
17-24 Juni 1916 diadakan kongres SI yang ketiga di Bandung. Dalam kongres ini
SI sudah mulai melontarkan pernyataan politiknya. SI bercita-cita menyatukan
seluruh penduduk Indonesia sebagai suatu bangsa yang berdaulat (merdeka).
Tahun 1917, SI mengadakan kongres yang keempat di Jakarta.
Dalam kongres ini SI menegaskan ingin memperoleh pemerintahan sendiri
(kemerdekaan). Dalam kongres ini SI mendesak pemerintah agar membentuk Dewan
Perwakilan Rakyat (Volksraad). SI mencalonkan H.O.S. Tjokroaminoto dan Abdul
Muis sebagai wakilnya di Volksraad.[8] Dalam Kongres SI Keempat
tahun 1919, Sarekat Islam memperhatikan gerakan buruh dan Sarekat Pekerja
karena hal ini dapat memperkuat kedudukan partai dalam menghadapi pemerintah
kolonial. Namun dalam kongres ini pengaruh sosial komunis telah masuk ke tubuh
Central Sarekat Islam (CSI) maupun cabang-cabangnya.
B. Sebab perpecahan dalam tubuh
Sarekat Islam dan lahirnya sikap Hijrah
1. Sebab Perpecahan SI
a. Masuknya Pengaruh Komunisme
Sarekat Islam yang mengalami perkembangan pesat, kemudian mulai
disusupi oleh paham sosialisme revolusioner. Paham ini disebarkan oleh H.J.F.M
Sneevliet yang mendirikan organisasi ISDV (Indische Sociaal-Democratische
Vereeniging) pada tahun 1914.[9] Pada mulanya ISDV sudah
mencoba menyebarkan pengaruhnya, tetapi karena paham yang mereka anut tidak
berakar di dalam masyarakat Indonesia melainkan diimpor dari Eropa oleh orang
Belanda, sehingga usahanya kurang berhasil. Akhirnya organisasi yang didirikan
orang Belanda di Indonesia ini tidak mendapat simpati rakyat, oleh karena itu
diadakan “Gerakan Penyusupan” ke dalam tubuh Serikat Islam yang akhirnya
berhasil mempengaruhi tokoh-tokoh Serikat Islam muda seperti Semaun, Darsono,
Tan Malaka, dan Alimin.
Menurut analisis tokoh-tokoh Sarekat Islam, munculnya ISDV
yang dikembangkan oleh orang Belanda tersebut merupakan usaha pemerintah
Belanda untuk menggoncang kestabilan Sarekat Islam, sekaligus pemecah belah
dari akar tubuh Sarekat Islam karena pemerintah memang khawatir dengan semakin
kuatnya posisi Sarekat Islam. Usaha H.J.F.M Sneevliet berhasil setelah mampu
mempengaruhi pimpinan Sarekat Islam di Semarang yang waktu itu dipegang oleh
Semaon, dengan masuknya ketubuh ISDV.[10]
Akibatnya banyak anggota Serikat Islam yang menjadi sosialis
terutama Serikat Islam cabang Semarang. Sehingga mereka menggunakan taktik infiltrasi
yang dikenal sebagai "Blok di dalam", mereka berhasil menyusup ke
dalam tubuh SI oleh karena dengan tujuan yang sama yaitu membela rakyat kecil
dan menentang kapitalisme namun dengan dasar dan cara yang berbeda (atheis-komunisme).
Dengan usaha yang baik, mereka berhasil memengaruhi
tokoh-tokoh muda SI seperti Semaoen, Darsono, Tan Malaka, dan Alimin
Prawirodirdjo. Hal ini menyebabkan SI pecah menjadi "SI Putih" yang
dipimpin oleh HOS Tjokroaminoto dan "SI Merah" yang dipimpin Semaoen.
SI merah berlandaskan asas sosialisme-komunisme.[11]
Adapun faktor-faktor yang mempermudah infiltrasi ISDV ke
dalam tubuh SI antar lain:
a.
Centraal Sarekat Islam
(CSI) sebagai badan koordinasi pusat memiliki kekuasaan yang lemah. Hal ini
dikarenakan tiap cabang SI bertindak sendiri-sendiri. Pemimpin cabang memiliki
pengaruh yang kuat untuk menentukan nasib cabangnya, dalam hal ini Semaoen
adalah ketua SI Semarang.
b.
Peraturan partai pada
waktu itu memperbolehkan keanggotaan multipartai, mengingat pada mulanya
organisasi seperti Boedi Oetomo dan SI merupakan organisasi non-politik.
Semaoen juga memimpin ISDV (PKI) dan berhasil meningkatkan anggotanya dari 1700
orang pada tahun 1916 menjadi 20.000 orang pada tahun 1917 di sela-sela
kesibukannya sebagai Ketua SI Semarang.
c.
Akibat dari Perang
Dunia I, hasil panen padi yang jelek mengakibatkan membumbungnya harga-harga
dan menurunnya upah karyawan perkebunan untuk mengimbangi kas pemerintah
kolonial mengakibatkan dengan mudahnya rakyat memihak pada ISDV.
d.
Akibat kemiskinan yang
semakin diderita rakyat semenjak Politik Pintu Terbuka (sistem liberal)
dilaksanakan pemerintah kolonialis sejak tahun 1870 dan wabah pes yang melanda
pada tahun 1917 di Semarang.
SI Putih (H. Agus Salim, Abdul Muis, Suryopranoto, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo) berhaluan kanan berpusat di kota Yogyakarta. Sedangkan
SI Merah (Semaoen, Alimin, Darsono) berhaluan kiri berpusat di kota Semarang.[12] Sedangkan HOS
Tjokroaminoto pada mulanya adalah penengah di antara kedua kubu tersebut.
Jurang antara SI Merah dan SI Putih semakin melebar saat
keluarnya pernyataan Komintern (Partai Komunis Internasional) yang menentang
cita-cita Pan-Islamisme. Pada saat kongres SI Maret 1921 di Yogyakarta, H.
Fachruddin, Wakil Ketua Muhammadiyah mengedarkan brosur yang menyatakan bahwa
Pan-Islamisme tidak akan tercapai bila tetap bekerja sama dengan komunis karena
keduanya memang bertentangan. Di samping itu Agus Salim mengecam SI Semarang
yang mendukung PKI. Darsono membalas kecaman tersebut dengan mengecam beleid
(Belanda: kebijaksanaan) keuangan Tjokroaminoto. SI Semarang juga menentang
pencampuran agama dan politik dalam SI. Oleh karena itu, Tjokroaminoto lebih
condong ke SI haluan kanan (SI Putih).
2. Lahirnya Sikap
Hijrah
Pada
tahun 1923 muncullah gagasan tentang sikap hijrah yang dilatarbelakangi oleh
adanya ketidak percayaan partai terhadap pemerintah colonial dan keyakinan
pimpinan partai bahwa kerjasama dengan pihak pemerintah colonial hanya akan
menimbulkan kerugian dunia-akhirat dan mengakibatkan tergelincirnya partai
lebih jauh lagi dari tujuan yang sebenarnya. Hijrah adalah “strategi” Allah
SWT.. yang telah ditetapkan menjadi salah satu pola perjuangan para rasulnya
dalam mengemban risalah menegakkan agama yang benar atas agama-agama lainnya.
nabi Muhamad SAW. Pola perjuangannya juga adalah hijrah
Pimpinan
Sarekat Islam menyadari benar bahwa perjuangan mengakkan Islam adalah ibadah.
Oleh karenanya, dalam pelakasanaannya harus mengikuti yang telah dicontohkan
oleh Nabi Muhammad SAW. Apapun resikonya harus dihadapi, tidak boleh membuat
cara sendiri. Inilah kiranya motivasi yang melatarbelakangi ditetapkannya sikap
hijrah sebagai garis politik yang resmi dari Sarekat Is;am,. Ditambah dengan
kondisi yang mendorong untuk mengambil sikap tegas semacam ini, dimana pada
saat itu semakin jel;as bahwa pemerintah Belanda dan Volkstraadnya (Dewan Rakyat) bukan member kemenangan terhadap
perjuangan Sarekat Islam, justr5u sebaliknya mereka berusaha melumpuhkan dan
meringkus dengan halus tokoh-tokoh Sarekat Islam agar tunduk dan patuh terhadap
segala kehendak mereka (pemerintahan kolonial).
Setelah
PSI menetapkan dan mempertegas politik hijrahnya yang berarti tidak ada
kerjasama dan tidak ada garis taat kepada pemerintah Belanda, maka pihak
pemerintah Kolonial segera menyambutnya dengan tindakan keras dan tegas, mereka
mengekluarkan peraturan-peraturan yang sangat ketat sehingga mempersempit ruang
gerak PSI.
Memang
demikianlah resiko dari sikap hijrah sebagaimana yang telah di alami oleh nabi
Muhammad SAW. Karna telah mendapat perlakuan kasar dan kejam dan penuh dengan
sikap permusuhan dari pihak orang-orang quraisy. Beliau dengan para sahabatnya
diburu, dicekam, diintimidasi, diblokade, diusir, bahkan di rencanakan untuk di
bunuh. Tetapi, allah telah merencakan atau menyelamatkan dan memenangkan atas
orang-orang kafir itu karana memang hijrah adalah strategiNya untuk
meneyelamatkan dan memenangkan rasulullah beserta ummatnya dalam berjuang
menegakkan kebenaran
Melihat
tindakan pemerintah belanda yang semakin keras terhadap PSI akibat sikap politik
hijrahnya ini, beberapa tokoh PSI, seperti sukima dan wali al-fatah, serta
beberapa orang pemimpin muhammadiyah termasuk ketua umumnya Kiyai Haji Mas
Mansur, bersama-bersama mengusulkan kepada pemimpin SI agar mengubah langkah
politik hijrahnya. Sebab, menurut pendapat mereka, politik semacam itu
merupakan tatik saja, bukan merupakan suatu prinsip yang tidak bisa di ubah.
Mereka
melihat politik hijrah seperti yang di laksanakan oleh PSI tidak bersifat tetap
dan baku sehingga menjadi menghambat perjuangan partai, karna tidak
memungkinkan penyesuain dengan situasi. Selain itu, orang-orang ini mengusulkan
kepada SI agar partai ini membatasi diri
pada bidang politik saja dan mempercayakan aspek-aspek sosial dan pendidikan
kepada organisasi lain dalam rangka pergerakan kebangsaan yang memang didirikan
untuk menghadapi bidang itu. Mereka juga meminta agar tindakan disiplin
terhadap muhammadiyah yang telah dilakukan PSI pada tahun 1927 itu di
cabut/dibatalkan.
Pertama,
keluarnya Soekiman CS dan menggas partai tadningan, yakni partai Islam
Indonesia (parti), namun pada 4 DEsember 1938, terealisasi menjadi partai Islam
Indonesia (PII) yang diketuai oleh Raden Widodo dan Soekiman.
Kedua,
selain keluarnya Soekiman CS, setelah wafatnya HOS COkroaminoto pada tahun
1934, H. Agus Salim membentuk satuan fraksi dalam lingkungan partai yang
disebut dengan “barisan penyadar partai Sarekat Islam INdonesia” (BPPSII). Pada
tanggal 18 November 1936 dengan maksud agar pemikiran-pemikirannya dapat
diterima oleh partai. Gerakan ini diketahui oleh Mr. Muhammad. Room yang
dirtencanakan akan bergerak dalam lingkungan Sarekat Islam sendiri. Akibat
sikap ini, H. Agus Salim dikeluarkan dari PSI.
Untuk
mengatasi gejoplak tersebut, PSI kemudian tidak hanya mengadakan rapat-rapat,
penjelasan dan penggagasan politik hijrah ini disusul pula dengan penerbitan
sebuah buku yang berjudul sikap hijrah PSII,
yang terditri atas dua jilid disususn oleh SM. Kartosuwiryo yang saaat
itu menjabnat sebagai wakil ketua lajnah Tanfidziyah PSII. Jilid pertama dalam
brousur tersebut, KArtosuwiryo berhasil menguraikan secara panjang lebar
tentang pengertian al-din (agama) yang menyangkut sebuah aspek kehidupan
tentang status dan tugas manusia dalam kehidupan doi dunia ini juga tentang
sikap serta perjalanan hijrah Nabi Muhammad SAW. Yang menjadaikan satu-satunya
pedoman serta pola perjuangan oleh seluruh ummatnya. Sesudah pembahasan arti
hijrah, Sm. KArtosuwiryo melanjutkan dengan mengatakan hamper pada setiap tempat
dimana kata “hijrah” digunakan dalam al-q uran,
kata ini diasosiakan dengan jihad. Sehubungan dengan hal itu, ia menulis,
“tiada tindakan hijrah dianggap abash bila dalam cita-cita jihad tidak
dilaksanakan”.
Situasi
dalam partai pada tahun-tahun berikutnya banyak berubah. Abi Kusno
Tjokrosoejoso sebagai pemimpin partai yang semula gencar meneriakan politik
hijrah, membela semangat non koperatif partai, kini berubah pendirian berbalik
berhadapan dan bertentangan dengan KArtosuwiryo. Abikusno beserta dewan
pimpinan yang lain berharap KArtosuwiryo mau bergabung bersama satuan
organisasi Islam GAPI (Gabungan Politik Islam). Namun, KArtosuwiryo menolaknya
dan tetap pada prinsip awalnya yaitu politik hijrah.
C. Kondisi
Serikat Islam pasca perpecahan
1.
Penegakan Disiplin Partai
Pecahnya SI terjadi setelah Semaoen dan Darsono dikeluarkan
dari organisasi. Hal ini ada kaitannya dengan desakan Abdul Muis dan Agus Salim
pada kongres SI yang keenam 6-10 Oktober 1921 tentang perlunya disiplin partai
yang melarang keanggotaan rangkap. Anggota SI harus memilih antara SI atau
organisasi lain, dengan tujuan agar SI bersih dari unsur-unsur komunis. Hal ini
dikhawatirkan oleh PKI sehingga Tan Malaka meminta pengecualian bagi PKI. Namun
usaha ini tidak berhasil karena disiplin partai diterima dengan mayoritas
suara. Saat itu anggota-anggota PSI dari Muhammadiyah (Kh. Ahmad dahlan) dan
Persis (A.Hasan) pun turut pula dikeluarkan, karena disiplin partai yang tidak
memperbolehkannya. Rupanya benih perpecahan semakin jelas dan dua aliran itu
tidak dapat dipersatukan kembali. Karena aktifitas politiknya Belanda akhirnya
menangkap Tjokroaminoto pada tahun 1921 karena di fitnah pemerintah kolonial
padahal sejatinya dikhawatirkan akan membangkitkan semangat perjuangan rakyat
pribumi walaupun akhirnya dibebaskan pada tahun 1922, sebuah cobaan yang lazim
diterima para penegak syariat islam di seluruh dunia.[13]
Sebagai seorang pemimpin, wajar jika Tjokroaminoto punya
banyak murid, di antaranya adalah Soekarno, Muso, Alimin, Kartosoewirjo, Buya
Hamka, Abikoesno, dan banyak lagi. Para anak didik Pak Tjokro ini kelak akan
menjelma sebagai pemimpin-pemimpin baru bangsa Indonesia. Seperti Soekarno yang
Nasionalis, SM kartosuwirjo yang Islamis Dan Muso-Alimin yang Komunis.
Perbedaan idiologi dari murid – muridnya tersebut secara tidak langsung
memberikan warna sendiri bagaimana secara aktif ide-ide, ilmu dan gagasan Cokro
menghujam ke dada idiologi mereka. Walaupun dengan pemahaman yang beraneka
ragam sesuai dengan latar belakang, pendidikan dan pekerjaanya masing masing.
Jadi, pertarungan Soekarno, Kartosuwirjo dan Muso-alimin sejatinya adalah
pertarungan tiga murid dari seorang guru Tjokroaminoto.
Hal ini mengisyaratkan bahwa adanya perbedaan tafsir para
murid terhadap guru dan kemudian mendorong kecenderungan yang berbeda pula.
Dalam Kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam yang diselenggarakan tahun 1921
dibicarakan masalah disiplin partai. Agus salim (Wakil Ketua CSI) yang menjadi
pejabat Ketua CSI menggantikan Tjokroaminoto yang masih berada di dalam
penjara, memimpin kongres tersebut. Akhirnya Kongres tersebut mengeluarkan
ketetapan aturan Disiplin Partai. Artinya, dengan dikeluarkannya aturan
tersebut, golongan komunis yang diwakili oleh Semaun dan Darsono, dikeluarkan
dari Sarekat Islam. Dengan pemecatan Semaun dari Sarekat Islam, maka Sarekat
Islam pecah menjadi dua, yaitu Sarekat Islam Putih yang berasaskan kebangsaan
keagamaan di bawah pimpinan Tjokroaminoto dan Sarekat Islam Merah yang
berasaskan komunis di bawah pimpinan Semaun yang berpusat di Semarang.
Keputusan mengenai disiplin partai diperkuat lagi dalam kongres SI di Madiun
pada bulan Februari 1923. Dalam kongres Tjokroaminoto memusatkan tentang
peningkatan pendidikan kader SI dalam memperkuat organisasi dan pengubahan nama
CSI menjadi Partai Sarekat Islam (PSI). Pada kongres PKI bulan Maret 1923, PKI
memutuskan menggerakkan SI Merah untuk menandingi SI Putih. Pada tahun 1924, SI
Merah berganti nama menjadi "Sarekat Rakyat".
Kejadian-kejadian penting yang dialami Sarekat Islam pada
Tahun 1923, antara lain:
1. Meninggalkan politik bekerja sama (= cooperation) dengan
pemerintah Belanda.
2. Berubah menjadi suatu partai politik dengan nama Partai
Serikat Islam ( = PSI).
3. Serikat Islam (SI), daerah yang jumlahnya banyak sekali itu
menjadi bagian dan PSI yang meliputi
seluruh wilayah Indonesia.
Sekeluarnya dari Sarekat Islam, mereka semakin giat melakukan
propaganda dalam usaha memasyarakatkan ideologi sosialis, bahkan tidak sekedar
propaganda, mereka juga memfokuskan gerakan-gerkan yang bersifat “phsyie” (kejiwaan). Puncak peristiwa
adalah ketika mereka memprolamasikan berdirinya PKI, kemudian mengadakan
pemberontakan di daerah Jawa Tengah dan Sumeatera Barat pada tahun 1926.
Kelompok ini lebih dikenal dengan Sarekat Islam Merah (Sosialis Indonmesia).
Sementara Sarekat Islam yang tulen dan Islamis disebut Sarekat Islam Putih.
Pada tahun 1927, Soekarnoe yang diharapkan menjadi kader
Sarekat Islam militant justru menyimpang/bertentangan paham dengan HOS
Cokroaminoto mengenai dasar ndan tujuan perjuangan. Soekarnoe berpendapat hanya
paham Nasionalis bukan Islam yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia dalam
mempersatukan langkah menghadapi colonial Belanda. Kemudian, Soekarnioe
mendirikan partai Nasional Indonesia yang berdasarkan Nasionalis Sekuler.
Kemudian pada kongres di Pekalongan bulan Desember 1927,
Kartosuwiryo terpilih menjadi sekretaris umum PSIHT (Partai Sarekat Islam Hindia Timur). Maka
dalam rangka melaksanakan displin partai dalam kongres ini PSI juga membahas
pemberlakuan perraturan tidak memperbolehkan adanya keanggotaan ganda.
Akhirnya, terjadilah perpecahan dalam tubuh Sarekat Islam di
tahun 1930. Sikap hijrah ini juga dilatari menyimpangnya Semaon CS dengan
membentuk PKI dan Soekarnoe dengan membentuk PNI yang dianggap bertentangan
dengan asas-asas PSI.
Pada kongres PSI tahun 1929 menyatakan bahwa tujuan
perjuangan adalah mencapai kemedekaan nasional. Karena tujuannya yang jelas
itulah PSI ditambah namanya dengan Indonesia sehingga menjadi Partai Sarekat
Islam Indonesia (PSII). Pada tahun itu juga PSII menggabungkan diri dengan
Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) .
Di tahun 1933 dilakukan suatu penyesuaian struktur PSI dan
dasar perjuangan partaiu yang dihasilkan pada tahun itu, dianggap sesuatu yang
telah sempurna para pemimpinnya terutama dengan figure HOS Cokroaminoto dibantu
SM. Kartosuwiryo sebagai sekretaris pribadinya, berusaha mewarnai lembaga PSI
ini dengan warna Islam saja tanpa ada
warna-warni lainnya ini bisa dilihat dari dasar strategi partai yang Islami.
Akibat keragaman cara pandang di antara anggota partai, PSII
pecah menjadi beberapa partai politik, di antaranya Partai Islam Indonesia
dipimpin Sukiman, PSII Kartosuwiryo, PSII Abikusno. Perpecahan itu melemahkan
PSII dalam perjuangannya. Pada Pemilu 1955 PSII menjadi peserta dan mendapatkan
8 (delapan) kursi parlemen. Kemudian pada Pemilu 1971 pada zaman Orde Baru,
PSII di bawah kepemimpinan H. Anwar Tjokroaminoto kembali menjadi peserta
bersama sembilan partai politik lainnya dan berhasil mendudukkan wakilnya di
DPR-RI sejumlah 12 (dua belas orang).
2.
Kemunduran PSII
Bulan
Juli dan Agustus 1929 hubungan PSII dengan golongan nasionalis non agama
memburuk dikarenakan terdapat serangkaian tulisan di surat kabar Socara umum
yang ditulis oleh banyak anggota PPPKI. Tulisan-tulisan tersebut ditafsirkan
sebagai penghinaan terhadap keyakinan PSII. Hal tersebut menyebabkan tanggal 28
Desember 1929 (tidak menunggu kongres) PSII mengumumkan keluar dari PPPKI.
Alasannya yaitu karena Pasal 1 Anggaran Dasar PPPKI berlawanan dengan anggaran dasar
PSII yang memperbolehkan keanggotaan bagi semua orang islam apa pun
kebangsaannya. Juga alasan lainnya karena kelompok studi umum di Surabaya
kurang menghormati agama Islam, perkumpulan-perkumpulan lain anggota PPPKI
selalu bertengkar karena perkumpulan-perkumpulan itu menentang poligami
sehingga PSII pecah menjadi beberapa partai kecil dan PSII selanjutnya menjalin
hubungan yang lebih erat dengan organisasi islam lainnya.
Perselisihan
antara anggota pengurus besar partai yaitu Cokroaminoto dan H.Agus Salim dengan
dr.Sukiman Wiryosanjoyo dan Suryopranoto mengakibatkan perpecahan dalam tubuh
PSII. Maka tahun 1933 Dr.Sukiman Wiryosanjoyo dan Suryopranoto dipecat dari
PSII. Pertengahan bulan Mei 1933 berdiri partai baru di Yogyakarta bernama
Partai Islam Indonesia (Parii). Partai ini bertujuan ke arah harmonis dari nusa
bangsa atas dasar agama islam dan pada waktu itu Parii dipimpin oleh Dr.
Sukiman namun partai ini berumur pendek. Tahun 1935 Cokroaminoto meninggal
dunia, dan muncul suara-suara bahwa Parii mau bergabung lagi dengan PSII.
Namun, untuk bergabung kembali masih ada halangan karena H.Agus Salim menjadi
ketua PSII menggantikan Cokroaminoto.
Perselisihan
dalam partai terus bertambah. H.Agus Salim menghendaki agar PSII bekerjasama
dengan pemerintah yang sebelumnya PSII bersikap nonkooperasi yang menyebabkan
PSII dibatasi geraknya. Sehingga tanggal 7 Maret 1935 H.Agus Salim mengusulkan
agar PSII membuang sikap nonkooperasi. Hal tersebut mengakibatkan perpecahan
dalam pimpinan PSII.
H.Agus
Salim terpilih kembali sebagai Ketua Dewan Partai. Lawan-lawannya yaitu
Abikusno Cokrosuyoso dan S.M.Kartosuwiryo. Pada kongres tahun 1936 (8-12 Juli).
Abikusno terpilih sebagai formatur, akibatnya pengurus terdiri atas orang-orang
yang anti kepada H.Agus Salim. Sehingga membuat H.Agus Salim memutuskan untuk
mengundurkan diri sebagai Ketua Dewan Partai. Namun, dia tetap berjanji untuk
menyumbangkan segenap tenaganya untuk tetap bekerja demi kepentingan umat Islam
Indonesia.
Untuk
melanjutkan cita-citanya itu, tanggal 28 November 1936 di Jakarta dibentuklah
golongan yang pro kepada H.Agus Salim yaitu suatu komite oposisi (sebuah komite
yang mau bekerjasama dengan pemerintahan kolonial). Komite itu bernama Barisan
Penyadar PSII yang dipimpin oleh Muhammad Rum. Tujuannya adalah ingin
menyadarkan PSII bahwa zaman ini sudah berubah. Komite itu dengan tegas
membantah sikap nonkooperasi PSII dan mereka sendiri menempuh politik
kooperasi. Pada tanggal 13 Februari PSII memecat kaum oposisi dengan alasan
bahwa tindakan mereka bertentangan dengan hukum dan sumpah partai yang membuat
29 tokoh terkemuka PSII dipecat termasuklah H.Agus Salim.
Selanjutnya
kongres ke 23 di Bandung yang diadakan tanggal 19-25 Juli 1937 antara lain
memutuskan mencabut pemecatan atas anggota yang telah dikeluarkan dari PSII.
Mereka diberi kesempatan untuk kembali ke PSII. Maka, pada 17 September 1937
PSII bersatu kembali dengan partai asal. Mereka yang kembali bergabung ke PSII
yaitu Dr.Sukiman, Wali Al-Fatah dan lainnya.
Namun
perdamaian dengan golongan ini (Dr.Sukiman) tidak berlangsung lama. Setelah
kongres di Suabaya mereka keluar dari PSII karena tetap tidak setuju dengan
politik PSII. Mereka bersedia kembali jikalau PSII: (a) jika PSII mau
melepaskan asas hijrah, asas itu tidak boleh dijadikan asas perjuangan
melainkan hanya taktik perjuangan; (b) semata mata hanya mengerjakan aksi
politik sedang pekerjaan sosial ekonomi harus diserahkan kepada perkumpulan
lain; (c) secepatnya mencabut disiplin partai terhadap Muhammadiyah. Namun,
PSII menolak permintaan itu. karena penolakan itu maka tanggal 6 Desember 1938
di Solo didirikanlah partai baru bernama Partai Islam Indonesia
(PII) yang diketuai R.M.Wiwoho dengan anggota gabungan dari Parii,
Muhammadiyah dan Jong Islamitien Bond (JIB)
Selanjutnya,
Kartosuwiryo yang membuat pengurus PSII Marah. Ia telah menulis brosur yang
terdiri dari dua jilid tentang hijrah tanpa membicarakannya lebih dulu dengan
Abikusno. Kartosuwiryo dan beberapa temannya-temannya telah menyatakan
bantahannya dengan cara yang dipandang tidak baik atas tindakan PSII
menggabungkan diri dalam Gapi. Kartosuwiryo menolak menghentikan penerbitan
tulisan itu dan ia mendapat dukungan dari beberapa cabang PSII di Jawa
Tengah,sehingga Kartosuwiryo dan 8 cabang PSII di Jawa Tengah dipecat dari
partai tahun 1939.
Pada
kongres PSII di Palembang tahun1940 diputuskan menyetujui pemecatan atas
S.M.Kartosuwiryo. Setelah dipecat, permulaan tahun 1940 Kartosuwiryo mendirikan
Komite Pertahanan Kebenaran PSII yang mana tanggal 24 Maret 1940 mengadakan
rapat umum di Malangbong, Garut. Dalam rapat itu, diterangkan bahwa akan
dijalankan “politik hijrah” juga disiarkan keputusan untuk mengadakan suatu
“suffah” yaitu suatu badan yang mendidik menjadi pemimpin-pemimpin yang ahli.
Sehingga
berdirilah PSII kedua, dalam hal ini bendera dan nama PSII dipakai dengan
menggunakan asas dan anggaran dasar yang sama. Dalam kelompok ini sudah nampak
cita-cita teokratis islam yang nantinya akan menjadi dasar perjuangan Darul
Islam Kartosuwiryo.
Namun,
kesempatan untuk berkembang lebih lanjut lagi terhambat karena keadaan perang.
Maka tanggal 10 Mei 1940 karena keadaan darurat habislah riwayat kedua partai
tersebut dibidang politik.[14]
D. Pengaruh
dan Peran Serikat Islam dalam
pergerakan Nasional
1.
Pengaruh Sarekat Islam dam Pergerakan Nasional
Dalam
Sarekat Islam pun terdapat beberapa program kerja, program kerja dibagi atas
delapan bagian yaitu: Mengenai politik Sarekat Islam menuntut didirikannya
dewan-dewan daerah, perluasan hak-hak Volksraad dengan tujuan untuk
mentransformasikan menjadi suatu lembaga perwakilan yang sesungguhnya untuk
legelatif.
Sarekat
Islam juga menuntut penghapusan kerja paksa dan sistim izin untuk bepergian.
Dalam bidang pendidikan, Serikat Islam menuntut penghapusan peraturan
diskriminatif dalam penerimaan murid di sekolah-sekolah.
Dalam
bidang agama, Serikat Islampun menuntut dihapuskannya segala peraturan dan
undang-undang yang menghambat tersiarnya agama Islam. Sarekat Islam juga
menuntut pemisahan lembaga kekuasaan yudikatif dan eksekutif dan menganggap
perlu dibangun suatu hukum yang sama bagi menegakkan hak-hak yang sama di
antara penduduk negeri. Partai juga menuntut perbaikan di bidang agraria dan
pertanian dengan menghapuskan particuliere landerijen (milik tuan tanah) serta
menasonalisasi industri-industri monopolistik yang menyangkut pelayanan dan
barang-barang pokok kebutuhan rakyat banyak.
Dalam
bidang keuangan SI menuntut adanya pajak-pajak berdasar proporsional serta
pajak-pajak yang dipungut terhadap laba perkebunan. Kemudian Serikat Islam
inipun menuntut pemerintah untuk memerangi minuman keras dan candu, perjudian,
prostitusi dan melarang penggunaan tenaga anak-anak serta membuat peraturan
perburuhan yang menjaga kepentingan para pekerja dan menambah poliklinik dengan
gratis.[3]
Serikat
Islam meratakan kesadaran Nasional terhadap seluruh lapisan masyarakat, baik
itu lapisan masyarakat atas maupun lapisan masyarakat tengah, dan rakyat biasa
di seluruh Indonesia, terutama melalui Kongres Nasional Senntral Islam di
Bandung pada 1916. Pada periode awal perkembanganya, Sarekat Islam dapat
memobilisasi massa dengan sangat baik, hal iti terbukti pada empat tahun
berjalannya Serikat Islam yang telah memiliki anggota sebanyak 360.000 orang,
kemudian menjelang tahun 1919, anggotanya telah mencapai hampir dua setengah juta
orang. Para pendiri Serikat Islam mendirikan organisasinya ini tidak hanya
untuk mengadakan perlawanan terhadap orang–orang Cina, tetapi untuk membuat
front melawan semua penghinaan terhadap rakyat bumi putera.
Oleh
karena itu, Serikat Islam berhasil mencapai lapisan bawah masyarakat yang
berabad–abad hampir tidak mengalami perubahan dan paling banyak menderita. Pada
mulanya Serikat Islam bersifat loyal dan membantu pemerintah. Kongresnya yang
pertama yang diadakan di Bandung pada tahun 1916, kebijakan yang diambil pada
saat itu adalah untuk membantu pemerintah. Namun pada saat kongres
Nasional di Madiun pada 17 – 20 Februari 1923, kongres mengambil keputusan
untuk membentuk sebuah Partai yaitu partai Serikat Islam (PSI), kongres ini
pula membicarakan sikap politik partai terhadap pemerintah, pada kongres ini
dibahas mengenai perubahan sikap terhadap pemerintah. Perubahan sikap politik
ini adalah partai tidak mempercayai lagi pemerintah, dan partai menolak
kerjasama dengan pemerintah, sikap politik ini biasa disebut juga sebagai sikap
"Politik Hijrah." [4]
2.
Peran Sarekat Islam dalam Pergerakan Nasional
Sarekat
Islam adalah organisasi yang berjuang untuk Indonesia. Mencoba mempertahankan
dan memperjuangkan paham Pan Islamisme yang selalu diusik oleh lawannya dan
penyusup.
Sarekat
Islam adalah suatu organisasi pergerakan nasional di kalangan kaum muslimin,
yang berkembang sebagai organisasi massa rakyat Indonesia yang pertama.
Organisasi ini bermula dari Sarekat dagang Islam yang didirikan di Solo oleh H
Samanhudi pada akhir tahun 1911. Setelah mengalami masa kejayaannya tahun 1916
sampai 1921, organisasi ini sedikit demi sedikit mengalami kemunduran, karena
adanya penetrasi dari kaum Marxis dan perpecahan organisasi akibat
perbedaan pandangan politik diantara pemimpin-pemimpin organisasi.
Sarekat
Dagang Islam mula-mula didirikan oleh kalangan pedagang batik di desa
Lawehan, Solo. Persaingan di bidang batik yang makin meningkat antara pedagang
pribumi dan pedagang Cina, dan sikap superioritas orang Cina terhadap orang
Indonesia setelah berhasilnya Revolusi Cina tahun 1911, mendorong
pedagang-pedagang batik pribumi menghimpun diri. Selain karena alasan diatas,
pedagang batik Solo juga merasakan tekanan dari bangsawan setempat. Atas
kepeloporan H Samanhudi, saudagar batik dari Lawehan, Solo, dan dukungan R.M.
Tirtoadisuryo,seorang wartawan yang pernah mendirikan Sarekat Dagang
Islamiyah di Jakerta (1909) dan di Bogor (1911), didirikanlah Sarekat Dagang
Islam.
Anggaran
dasar pertama Sarekat Dagang Islam tertanggal 11 November 1911 dirumuskan oleh
R.M. Tirtiadisuryo. Tujuan organisasi menurut anggaran dasar adalah; berikhtiar
meningkatkan persaudaraan diantara anggota, dan tolong menolong dikalangan kaum
Muslimin; berusaha meningkatkan derajat kemakmuran dan kesejahteraan rakyat
serta kebebasan Negeri. Organisasi ini berhasil meluas sampai masyarakat bawah.
Hal
ini membuat pihak pengusaha khawatir, lebih-lebih setelah kegiatan para
anggota di Solo meningkat tanpa dapat diawasi oleh pengurus setempat. Kerusuhan
meningkat dan perkelahian yang melibatkan orang Cina kerap terjadi. Pemogokan
dilancarkan oelh pekerja di perkebunan Krapyak di Mangkunegaran. Pihak penguasa
menganggap hal ini disebabkan oleh Sarekat Dagang Islam. Oleh sebab itu, pada
awal agustus 1912, residen Surakarta segera membekukan organisasi ini, SDI
dilarang menerima anggota baru dan mnegadakan rapat-rapat. Penggeledahan
terhadap tokoh-tokoh organisasi dilakukan, tetapi tidak menemukan bukti-bukti
bahwa SDI memang berbahaya.
Pada
tanggal 26 Agustus 1912, pembekuan ini dicabut dengan syarta bahwa anggaran
dasar organisasi ini diubah, dan organisasi ini terbatas di daerah
Surakarta saja. Sekalipun demikian, tetapi anggota SDI terus bertambah, tidak
saja di Surakarta tetapi di daerah lain di Jawa.
Sementara
itu di lingkungan organisasi muncul pemimpin baru yakni H. Oemar Said (H.O.S.)
Tjokroaminoto. Tanpa memperhatikan persyaratan yang dituntu Residen,
Tjokroaminoto menyusun anggaran baru: organisasi ini dinyatakan meliputi
seluruh Indonesia, dan kata “dagang” dihapuskan. H. Samanhudi diangkat menjadi
ketua Sarekat Islam (SI), dan Tjokroaminoto Komisaris. Anggaran dasar
organisasi ini disahkan dengan akta di Surabaya pada tanggal 1912, dan segera
diajukan kepada pemerintah guna mendapatkan persetujuan.
Dilihat
dari anggaran dasar yang baru, peran Sarekat Islam dalam pergerakan Nasional
diantaranya adalah:
1. Mengembangkan
jiwa dagang,
2. Menberi
bantuan kepada anggota yang menderita kesukaran,
3. Memajukan
perngajaran dan memajukan semua yang dapat mengangkat derajat warga pribumi,
dan
4. Menentang
pendapat-pendapat keliru tentang Islam.
Tujuan
politik tidak disinggung-singgung dalam anggaran dasar ini. Akan tetapi dalam
kenyataannya, seluruh kegiatan SI tidak lain adalah daripada untuk mencapai
suatu tujuan kenegaraan. Keadilan dan kebenaran selalu diperjuangkan dengan
gigih oleh organisasi, misalnya terhadap praktik-praktik penindasan dari
pemerintah. Dalam kongresnya yang pertama pada bulan Januari 1913, Kegiatan SI
bersifat menyeluruh kepada segenap pelosok tanah air.
Dalam
kongres ditetapkan wilayah SI dibagi tiga bagian, Wilayah Jawa Barat
yakni Jawa Barat, Sumatra dan pulau-pulau daerah Sumatra, wilayah jawa
Tengah yang meliputi Jawa Tengah dan Kalimantan, wilayah Jawa Timur yang
meliputi Jawa Timur, Sulawesi, Bali, Lombok, Sumbawa dan pulau-pulau lainnya di
wilayah Indonesia Timur. Cabang-cabang SI ini berada di bawah pengawasan SI
pusat di Surakarta, yang dikertuai oleh H. Samanhudi.
Pemerinatah
Hindia Belanda sangat berhati-hati menghadapi situasi yang demikian hidup dan
mengandung unsur-unsur Revolusioner ini. Pemerintah akhirnya menolak
memberikan pengakuan terhadap SI pusat, dan hanya memberikan pengakuan terhadap
SI lokal. Sampai tahun 1914 ada 56 SO lokal ayng diakui badan hukumnya.
Keputusan ini tentu saja mempengaruhi struktur organisasi SI. Struktur pusat
dan cabang yang ditetapkan dalam kongren tidak dapat diterapkan. Jalan keluar
dicari, persyaratan dari pemerintah dipenuhi, tetapi juaga dikembangkan kerja
sama antara SI lokal. Untuk itu, dalam suatu pertemuan di yogyakarta pada
tanggal 18 Februari 1914 diputuskan untuk membuat pengurus sentral.
Pada
tahun 1915 didirikanlah Central Sarekat Islam (CSI) berkedudukan di Surabaya,
yang tujuannya memajukan, membantu, dan memelihara kerja sama antara SI lokal.
Pengurus CSI terdiri atas H. Samanhudi sebagai ketua kehormatan, Tjokroaminoto
sebagai ketua, dan Gunawan sebagi wakil ketua. Semua SI lokal merupakan anggota
CSI. Pada tanggal 19 Maret 1916, CSI ini baru diakui pemerintah dengan syarat
wajib mengawasi tindakan-tindakan pengurus dan SI lokal. Sementara itu, jumlah
anggota dan cabang SI terus berkembang dengan pesat, dan SI menjadi organisasi
massa yang pengaruhnya sangat terasa dalam kehidupan politik Indonesia.
Pada
tahun 1916, cabang SI lokal di sleuruh Indonesia berjumlah 181 cabang,
dengan anggota seluruhnya 700.000 orang. Jumlah cabang yang mengikuti kongres
tahun ini sebanyak 75 cabang. Sebagai perbandingan, Budi Utomo di masa
kejayaannya tahun 1909 hanya memiliki anggota 10.000 orang.
Pada
periode stelah 1916, wawasan SI adalah wawasan nasional yang bertujuan
terbentuknya suatu bangsa. Inilah sebabnya sejak tahun 1916 ini kongres tahunan
SI disebut kongres Nasional. Dalam kongres Nasional SI pertama tahun 1916,
berhasil dirumuskan sifat politik SI, yang kemudian disahkan pada kongres
Nasional partai yang kedua tahun 1917. Isi pokok politik organisasi, antara
lain, mengharapkan hancurnya kapitalisme yang jahat dan memperjuangkan agar
rakyat pada akhirnya nanti dapat melaksanakan pemerintahan sendiri.
Sejalan
dengan perkembangan SI yang sangat pesat, orang-orang sosialis yang tergabung
dalam ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereneging) seperti Sneevliet, P.
Bergsma, H.W. Dekker berusaha memanfaatkan SI sebagai jembatan ISDV kepada
massa rakyat Indonesia. Dengan menggunakan taktik infiltrasi, orang-orang
sosialis ini berhasil menyusup ke tubuh SI, dan menyebarkan paham Marxis di
lingkungan anggota SI.
Dalam
satu tahun, Sneevliet dan kawan-kawannya telah memiliki pengaruh yang cukuup
kuat di kalangan anggota SI. Keadaan buruk akibat perang Dunia I, panen padi
yang jelek, serta ketidakpuasan buruh perkebunan terhadap upah ayng
rendah merupakan isu-isu yang menguntungkan bagi propaganda mereka. Selain
itu, CSI sebagai koordinator SI lokal masih lemah dan kondisi kepartaian pada
waktu itu memungkinkan seseorang sekaligus menjadi anggota beberapa partai. Ini
semua memudahkan mereka melakukan Infiltrasi ke tubuh SI. Banyak anggota SI
yang ditarik menjadi anggota ISDV. Bahkan Sneevliat berhasil menarik beberapa
pemimpin muda SI menjadi pemimpin ISDV. Yang terpenting adalah Semaun dan
Darsono. Mereka berdua tahun 1916 menjadi SI cabang Surabaya. Semaun kemudian
pindah ke Semarang, dan menjadi pemimpin SI Semarang, yang sebelumya memang
telah menerima banyak pengaruh dari Sneevliet. Semarang sendiri merupakan
tempat pertama kali ISDV didirikan tahun1914. Dengan usaha Semaun yang gigih,
SI Semarang mengalami perkembangan peesat. Pada tahun 1916 anggotang sudah 1700
orang, dan tahun1917 berjumlah 20.000 orang.
Semaun,
Darsono dan kawan-kawannya, yang berorientasi Marxistis, senantiasa melancarkan
oposisi terhadap kepemimpinan Tjokroaminoto. SI Semarang tidak hanya menyerang
pemerintah dan kapitalis asing, tapi juga menyerang CSI. Hal ini menimbulkan
krisis kepemimpinan dalam organisasi SI. Sementara pertentangan antara
pendukung paham islam dan pendukung paham Marxis terus bergolak. CSI melihat
munculnya kesulitan-kesulitan dengan SI Semarang adalah akibat
keterlibatan ISDV. Oleh sebab itu, dalam kongres SI bulan Oktober 1917,
organisasi memutuskan segala hubungan organisasi dengan ISDV.
Pertentangan
tentang haluan politik partai telah muncul dalam kongres Nasional kedua tahun
1917. Ditegaskan dalam kongres bahwa tujuan perjuangan organisasi adalah
terwujudnya pemerintahan sendiri, dan menentang segala bentuk penghisapan oleh
kapitalis. Akan tetapi terdapat dua pendirian yang saling bertentangan. Abdul
Muis dan H. Agus Salim berpendirian bahwa untuk mencapai tujuan organisasi
perlu ditempuh dengan cara-cara yang legal. Sementara Semaun dan Darsono,
berpendirian bahwa apabila ingin mencapai apa yang dicita-citakan, organisasi
harus meninggalkan segala bentuk kerja sama dengan pemerintah.
Dalam
pembahasan Volkskraad yang akan dibentuk pemerintah, pertentangan diantara
kedua kubu inipun terjadi. Abdul Muis menganggap Volkskraad sebagai langkah
untuk mendirikan dewan perwakilan yang sebenarnya, dan dengan ikut dalam
volkskraad, SI dapat membela kepentingan rakyat. Semaun berpendirian lain.
Volkskraad baginya hanyalah akal kaum kapitalis untuk mengelabui rakyat jelata
guna memperoleh keuntungan yang lebih besar. Abdul Muis dan kawan kawan lebih
mendapat dukungan, dan diputuskan bahwa SI tetap bergerak melalui jalan legal, dan
ikut berpartisipasi dalam Volkskraad.
Sarekat
Islam kemudian ikut dalam musyawarah Komite Nasional pada tahun 1917 tentang
pemilihan anggota-anggota Indonesia untuk Volkskraad yang akan dibentuk. H.O.S.
Tjokroaminoto akhirnya diangakat oleh pemerintah menjadi anggota Volkskraad
setelah volkskraad dibentuk tahun 1918. Sementara itu, abdul Muis menjadi
anggota volkskraad yang terpilih.
Pertentangan
antara kubu Abdul Muis dan Kubu Semaun ini terjadi dalam hal Indie Weerbar
Actie (aksi Ketahanan Hindia). Terjadi perbedaan yang tajam antara mereka,
tidak hanya pertikaian antara dua kubu, tetapi meluas sampai masalah-masalah
pribadi. Pertikakaian ini kmeudian diselesainkan secara resmi dalam kongres
Nasional SI di Surabaya pada tahun 1918 bulan Oktober dengan keduanya membatasi
setiap pertentangan yang muncul. Akan tetpai usaha tersebut juga tidak mampu
menjembatani kedua kubu ini.
H.O.S.
Tjokroaminoto dan Abdul Muis menjadikan Volkskraad sebagai forum untuk
mengemukakan tuntunan-tuntunan partai seperti yang diputuskan dalam kongres.
Keduanya bekerja sama dengan wakil-wakil lain yang sehaluan dalamm fraksi
Radicale Concentratie dengan maksud mempercepat realisasi badan perwakilan
sesungguhnya. Akan tetapi masalah pertisipasi partai di Volkskraad menghangat
kembali setelah penolakan dewan atas morsi partai unutk mengurangi luas tanah
yang dipergunakan untuk penanaman tembakau.
Beberapa
pemimpin SI yang pada mulanya menyetujui partisipasi partai dalam volkskraad
mulai mempersoalkan perlu dan tidaknya partisipasi ini. Sosrodarsono,
sekretaris CSI, menuntut agar Tjokroaminoto dan Abdul Muis meninggalkan dewan.
Sikap Si terhadap volkskraad kemudian berubah sama sekali. H. Agus Salim yang
semula sangat mendukung SI dalam volkskraad mencap bahwa volkskraad tidak lebih
dari “komedi kosong”, demikian juga Indiee Weerbaar Actie. SI mulai bersikap
lebih radikal. Jika pada tahun 1915-1916an semboyan SI masih “kerjasama dengan
pemerintah untuk kepentingan Hindia”, pada tahun 1918 semboyan ini berubah
menjadi menentang pemerintah dan kapitalis yang jahat.
Dalam
Kongres Nasional di Surabaya tahun 1918, yang dihadiri oleh 87 SI lokal,
pemerintah jajahan dikecam dengan hebat. Pemerintah dituduh hanya melindungi
kepentingan kapitalis tanpa menghiraukan nasib rakyat kecil. Pegawai-pegawai
pemerintah pribumi dicap sebagai alat penyokong kapitalis. SI menuntut
perbaikan syarat-syarat perburuhan, adanya pemerintahan sendiri, adanya undang-undang
kepemilikan, hak angket dan interpelasi volkskraad, perwakilan yang seimbang,
dan lain-lain.
Sejalan
dengan perubahan haluan politik SI ke arah non kooperasi, golongan marxis
mendapatkan jabatan di dalam tubuh CSI. Sehingga mereka memiliki pengaruh yang
semakin kuat. Pada kongres Nasional di Surabaya tahun 1918, Darsono, Prawoto
Sudibyo dan Semaun mendapatkan kursi di CSI yang baru. Walaupun H.O.S
tjokroaminoto dan abdul Muis masih menjabat sebagai presiden dan wakil
presiden. Kepengurusan dari kaum marxis tersebut merupakan sebuah kemajuan
besar bagi golongan itu. Pada Kongres Nasional SI tahun 1919 masalah kelas
sedang menghangat. Dalam kongres disusun serikat buruh dan dibentuk vaksentraal
buruh. Kemudian semuanya dibuktikan dengan berdirinya PPKB (Persatuan
Pergerakan Kaum Buruh) pada 15 Desember 1919.
Pemebentukan
serikat ini menimbulkan persaingan antara Abdul Muis, H. Agus Salim dan
kawan-kawan dengan Semaun, Darsono dan kawan-kawan. Kedua pihak menginginkan
menguasai PKBB tersebut. Suryopranoto sebagai wakil presiden PPKB ingin
memindahkan pusat PPKB dari Semarang ke Yogyakarta. Semaun menuduh hal ini
sebagai usaha untuk menghapuskan kaum komunis. Kedua belah pihak saling
mnegecam. Pada tahun 1921 bulan Juni Semaun menyatakan PKBB bubar dan diganti
dengan Revolutionare Vakcentrale, nama yang sebelumnya diusahakan oleh Komunis
saat penamaan PPKB. Pembubaran ini tidak diakui oleh Suryopranoto, dalam
rapat yang diadakan bulan Juli 1921 ditegaskan bahwa PPKB masih berlanjut.
Pada
tahun ini SI berada di puncak kejayaan. Dengan memiliki jutaan anggota. Namun
di tahun ini juga merupakan titik balik perkembangan SI. Pertentangan,
pertikaian, perbedaan ideologi menjadi corak yang dalam kubu SI kini.
Masalah-masalah tersebut membuat keretakan dalam hubungan organisasi.
Dalam
kongres Istimewa bulan Maret tahun 1921 yang diselenggarakan di Yogyakarta
dilakukan penyusunan tafsir baru, antara lain mengenai kompromi antara kelompok
yang bertikai. Walaupun demikian, orang yang terpengaruh ISDV selalu menjadi Oposisi
kebijakan yang dilakukan oleh SI. Ini menimbulkan kebencian terhadap kaum
komunis yang mendorong SI untuk mengeluarkan golongan komunis dari tubuh SI.
Dalam
kongres di Surabaya pada bulan Oktober tahun itu juga dibahas mengenai disiplin
partai. Diputuskan bahwa anggota SI dilarang untuk memiliki organisasi ganda.
Mereka harus memilih atau keluar dari SI. Beberapa SI lokal menentangnya,
seperti dari Salatiga, Semarang, Sukabumi dan Bandung. Akan tetapi suara
terbanyak menyetujui disiplin partai tersebut. Maka dari itu anggota SI
menyusut. Anggota yang terpengaruh ISDV keluar dari SI. Untuk menggairahkan
kembali organisasi, maka SI mulai bergerak ke arahh keagamaan. Dibentuklah
Komite Kongres Al Islam bersama dengan Muhammadiyah dengan mencoba menyebarkan
paham Pan Islamisme. Hubungan dengan gerakan islam di luar negri segera
diusahakan.
Kepercayaan
partai kepada pemerintah perlahan menurun, lalu lenyap dengan segera. Sehingga
organisasi benar-benar bersifat non kooperatif. Penahanan Tjokroaminoto oleh pemerintah
selama kurang lebih tujuh bulan dari 1921-1922 karena tuduhan keterlibatan
dengan gerakan SI afdeeling B di Jabar, menghilangkan kesediaan partai untuk
patuh pada pemerintah.
Dikalangan
SI muncul gagasan untuk melakukan reorganisasi. Susunan organisasi lama
dianggap sudah tidak cocok. Juga dapat membahayakan kepemimpinan organisasi. SI
lokal dapat bergerak lebih bebas dibandingkan CSI yang bertanggung jawab atas
tindakan SI lokal. Maka dalam kongres ketujuh bulan Februari 1923 dibahas
kemungkinan SI untuk mundur dari volkskraad. Dalam kongres ini pula diputuskan
akan adanya reorganisasi. SI akhirnya diubah menjadi Partai Sarekat Islam.
[1] Solahuddin, NII sampai JL; Salafi Jihadisme di Indonesia, (Jakarta: Komunitas
Bambu, 2011), hlm. 53-56
[2] Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia
Islam. Bandung: PT Pustaka Setia. 1997. Hlm 126-127
[3] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, hlm. 120
[4] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20, (Jakarta: Gema Insani Press, 2006), hlm. 28
[5] Herry Mohammad, dkk, Tokoh-Tokoh Islam yang
Berpengaruh Abad 20, hlm. 40
[6] Deliar Noer, Gerakan Moderen Islam di Indonesia
1900-1942, (Jakarta: PT. Pustaka LP3ES Indonesia, 1996), hlm. 121-122
[7] Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikiran Modern di Dunia
Islam. Bandung: PT Pustaka Setia. 1997. Hlm 127
[9] AM Suryanegara, “Api
Sejarah jilid 1”, Jakarta: Salamadani, 2009
[10] Lukman Santoso, Sejarah Terlengkap Gerakan Separatis Islam, (Jogjakarta,
September 2014), hlm. 50
[11] Azyumardi
Azra, “Islam reformis: Dinamika Intelektual dan Gerakan”, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999
[13] “HOS Tjokroaminoto” Sosialisme di dalam Islam, dikutip
dari Islam, Sosialisme dan Komunisme (editor: Herdi Sahrasad), Jakarta: Madani
Press, 2000.
COMMENTS