Dalam sebuah kehidupan, manusia sebagai salah satu makhluk yang ada di Dunia tentu pasti akan selalu berinteraksi dengan manusia lainny...
Dalam sebuah kehidupan, manusia sebagai salah satu makhluk yang ada di Dunia tentu pasti akan selalu berinteraksi dengan manusia lainnya, baik secara individual maupun golongan. Interaksi tersebut tentu akan melahirkan beberapa kesepakatan yang kemudian menjadi sebuah aturan main dalam kesehariannya. Tentu, kesepakatan yang sudah menjadi aturan itu tidak mesti sepaham dengan kelompok individu atau lingkungan lainnya yang akhirnya mengakibatkan sebuaah gesekan antar kelompok. Justifikasi hukum mulai dicari sebagai salah satu penguat terhadap tindakan mereka.
Salah satu contoh bagaimana gesekan antar golongan
penganut agama itu terjadi di masyarakat pedesaan adalah Desa Bragung, sebuah
desa yang terletak di kecamatan Guluk-guluk Kabupaten Sumenep Jawa Timur,
tempat dimana penulis dilahirkan dan dibesarkan. Masyarakat di Desa ini, 99%
pemeluk agama Islam, namun tradisi keagamaan antar dusun jelas berbeda.
Misalkan, dalam melakukan khotbah Jumat yang diganti dengan ceramah sesuai
dengan keinginan Khatib setiap minggunya yang terjadi di Dusun Lengkong Timur,
Dusun ini dikenal sebagai kelompok Muhammadiyah. Hal ini sangat bertolak
belakang dengan Masjid yang berada di Dusun Lengkong Barat yang hanya berkisar
200 meter dari masjid Muhammadiyah. Pemuda Muhammadiyah seringkali adu argument
dengan pemuda NU, bahkan ada yang sampai bermusuhan karena perbedaan tersebut.
Ironisnya, permusuhan ini dimulai dari pemuka agamanya sehingga masyarakatnya
pun mengikuti petuah sang Kyai, padahal lebih dari itu tidak lain sang pemuka
agama hanya gengsi dan tidak mau nama baiknya tercoreng di hadapan masyarakat.
Dari kasus ini, penulis gelisah terhadap fenomena dan fakta sosial yang terjadi
di masyarakatnya, beragam pertanyaan muncul dibenak penulis, seperti Apakah
benar dengan beragama itu akan melahirkan kehidupan yang damai, nyaman, tentram
dan lain sebagainya? Kenapa perbedaan persepsi itu tidak bisa disatukan,
bukankah mereka masih dalam naungan satu Agama? Lantas dimanakah posisi Agama
itu sendiri?.
Pada tahun 2017, masyarakat yang ada di Kabupaten
Sumenep kisaran 1.100.711 jiwa (MADURAKU.COM-1). Adapun penganut golongan NU
sekitar 70% dan golongan Muhammadiyah 30%. Tidak jarang kita mendapatkan
masyarakat yang mengaku dirinya sebagai Agama NU, hal ini dilakukaan
sebagai penegasan ide ntitas dirinya bahkan keluarganya, begitupun sebaliknya
yang dilakukan oleh golongan Muhammadiyah.Studi kasus yang kedua tentang
tradisi sholat i’ed (antara shalat di Masjid dan luar Masjid), merawat Jenazah
(mendoakan/ tahlil dan tidak, serta makan suguhan keluarga jenazah dan tidak),
klaim bid’ah turut menghiasai dalil mereka akan perbedaan pemahaman
tersebut. Sampai sekarang ini terjadi di dua Dusun yang berhimpitan itu,
speaker masjid sering kali menyiarkan sebuah statemen yang kontra, sehingga
keharmonisan antar dusun tidak terjaga secara indah, hal ini pula berimbas
terhadap pemilihan kepala desa, DPRD, Bupati, dan lainnya. Sehingga tragedi ini
dimanfaatkan oleh para calon yang menginginkan dirinya terpilih.
COMMENTS