Terkait dengan interaksi manusia terhadap Al-Qur’an, Farid Essack mengibaratkannya dengan analogi interaksi laki-laki mendekati perempu...
Terkait dengan interaksi manusia terhadap Al-Qur’an,
Farid Essack mengibaratkannya dengan analogi interaksi laki-laki mendekati
perempuan, pecinta (lover) dan yang dicinta (beloved). Secara umum ia memetakan
dalam dua bagian besar yang masing-masing terbagi menjadi tiga bagian. Keduanya
adalah Muslim dan non-Muslim.
Muslim dalam berinteraksi dengan Al-Qur’an ada yang
menjadi uncritical lover, scholarly lover, dan critical lover. Yang disebut pertama,
yakni uncritical lover (pecinta yang tidak kritis) merupakan kelompok yang
terdiri dari orang-orang Muslim awam. Kecintaan mereka terhadap kekasihnya
(Al-Qur’an) ini seperti cinta buta. Baginya, Al-Qur’an adalah segala-galanya,
tanpa pernah meragukan atau menanyakan tentang Al-Qur’an. keindahan dan
keagungan Al-Qur’an bisa menjadikan mereka mengalami pengalaman spiritual yang
hebat. Al-Qur’an dalam kelompok ini merupakan etitas yang bernilai dengan
sendirinya dan memberikan pengaruh dalam kehidupan sehari-hari.
Kedua, scholarly lover, maksudnya adalah sarjana Muslim
konvensional. Mereka ini adalah pecinta Al-Qur’an yang berusaha menjelaskan
kepada dunia mengapa Al-Qur’an bisa disebut sebagai wahyu Tuhan yang membawa
kebenaran yang karenanya bisa diterima dan dijadikan sebagai pegangan hidup.
Para scholarly lover menjelaskan kehebatan atau i’jaz al-Qur’an secara ilmiah
dengan bantuan ilmu tafsir. Ulama-ulama yang termasuk dalam kelompok ini
misalnya Abu al-‘ala al-Maududi dengan Tafhim al-Qur’an, Amin Ahsan Islahi
dengan Tadabbur al-Qur’an, Husayn Thabatha’i dengan Al-Mizan fi Tafsir al-Qur’an,
Muhammad Asad dengan The Message of the Qur’an, ‘Aisyah Abd al-Rahman dengan Al-Tafsir
al-Bayan li’l-Qur’an al-Karim, Muhammad Husayn al-Dhahabi dengan Tafsir
wa’l-Mufassirun, Muhammad ‘Abd al-‘Azim al-Zarqani dengan Manahil al-‘Irfan fi
al-‘Ulum al-Qur’an, dan lain sebagainya.
Ketiga, kelompok critical lover (pecinta yang kritis).
Kelompok ini brusaha bertanya tentang sifat-sifat, asal-usul (otentitisas), dan
bahasa Al-Qur’an (sebagai kekasihnya) sebagai refleksi atas kedalaman cintanya.
Mereka yang tergolong kelompok ini adalah Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zayd,
dan Muhammad Arkoun.
Pada kelompok non-Muslim, pertama, the friend of lover.
Yaitu teman pecinta. Kelompok ini sedikit berbeda dengan kelompok critical
lover, yaitu terkait dengan status keagamaannya. The friend of lover biasanya berisikan
para outsider (orientalis) yang baik seperti Kenneth Cragg dengan karyanya The
Event of the Qur’an-Islam and its Scripture: Reading in the Qur’an, Montgomerry
Watt dengan Campanion to the Qur’an, William Graham dengan Divine Word and
Prophetic World in Early Islam.
Kedua, kelompok revisionist. Sesuai namanya, kelompok
ini seringkali melakukan perubahan-perubahan yang sifatnya merevisi al-Qur’an
beserta aspek-aspeknya dan mungkin juga melemahkan Al-Qur’an dengan bukti-bukti
akademisnya. Misalnya Christoph Luxenberg dengan karyanya Die Syiro-Aramaik...yang
menyatakan bahwa bahasa Al-Qur’an itu berasal dari bahasa Syriak-Aramaik,
tetapi para Mufassir tidak menydari hal itu sehingga terjadi kesalahan
penafsiran. Maka, sebagai solusinya, perlu dilakukan pembacaan ulang terhadap
Al-Qur’an dengan bahasa Syriak-Aramaik tersebut. selain Luxenberg, yang
tergolong kelompok ini adalah Patricia Crone dan Michael Cook. Ketiga, kelompok
polemicist, yakni non-Muslim yang menolak Al-Qur’an secara total.
Keseharian Muslim tidak dapat dilepaskan dari
Al-Qur’an, bahkan bahasa Arab, karena bahasa Arab diklaim sebagai bahasa
Al-Qur’an. Farid Essack mencontohkan dalam banyak kasus. Misalnya ketika ada
catatan, buku, ataupun teks berbahasa Arab yang terjatuh, Muslim akan sesegera
mungkin mengambilnya, mengangkatnya ke dahi, menciumnya, sebelum meletakkannya
di tempat yang paling ‘mulia’. Al-Qur’an dan kitab-kitab berbahasa Arab di
beberapa daerah Muslim juga begitu, diletakkan di rak atau almari yang berada
di tempat tinggi, tidak ‘melantai’. Anak-anak sejak kecil, TK, atau SD sudah
dilatih mengenal huruf Arab (Hijaiyah) untuk kemudian dapat membaca Al-Qur’an.
Di kalangan Ibu-ibu ketika memasak agar masakannya enak seringkali juga dengan
membaca ayat-ayat tertentu dari Al-Qur’an. Dinding-dinding rumah Muslim banyak
pula yang dihiasi dengan kaligrafi ayat Al-Qur’an. Kasus lain, di Dubai,
tahanan bisa memperoleh remisi dibebaskan jika dapat menghafal Al-Qur’an. Dengan
demikian, teks Al-Qur’an telah berubah menjadi sebuah benda yang berharga dalam
dirinya sendiri, seperti hiasan untuk wanita, jimat untuk anak-anak dan
sepotong kaligrafi tergantung di dinding dan dipamerkan bersama perak dan emas sebagai
barang berharga.
Bagi umat Muslim, Al-Qur’an is alive, memiliki kekuatan
luar biasa, bisa mengobati penyakit, melindungi diri dari marabahaya, pelipur
lara, dan lain sebagainya, dan oleh karenanya harus disucikan. Selain itu, Al-Qur’an
as recited word of God, di mana ketika dibaca menjadi sumber kenyamanan dan
penyembuhan terbesar di dunia ini. Ketika seseorang memiliki teks yang memegang
kekuasaan fenomenal tersebut dan berpengaruh lebih dari satu orang itu, akan
menjadi senjata ampuh di tangan orang-orang yang memiliki akses ke sana dan
bahwa berbagai kelompok kepentingan akan bersaing untuk memiliki akses, dan menafsirkannya.
Maka, Al-Qur’an juga menjadi kitab yang dikonteskan.
COMMENTS