Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak lepas dari era “globalisasi”. Karena di era inilah, sekarang kita hidup dan men...
Arus utama dalam pembacaan atas situasi penindasan tidak lepas dari era “globalisasi”. Karena di era inilah, sekarang kita hidup dan menghadapinya dengan segala ketidakpastian. Deepak Nyaar, ilmuwan yang mengaitkan globalisasi dengan situasi penindasan menyatakan bahwa fase globalisasi dibagi menjadi dua adalah (Deepak Nyaar: 1998). Pertama, Fase Imperialisme Inggris yang terjadi pada range 1870-1813 yang memakai payung ideologi Kapitalisme Klasik dengan doktrin yang terkenal dari Adam Smith, “leizzis faire” (persaingan bebas tanpa batas). Kedua, fase ini terjadi pada dekade 1870-1970-an ketika roda perekonomian bergerak ke Amerika Serikat dengan semangat yang hampir sama dan bernaung di bawah bendera Neo-liberialisme.
Mengamini pendapat di
atas, James Petras (2001) menyatakan bahwa di bawah proyek globalisasi yang
diusung Barat sesungguhnya terdapat semangat dan kepentingan imperialisme
dengan agenda penguasaan dalam pengertian yang sangat luas, baik dalam arti
material (SDA) maupun mental (SDM) atas “Negara-negara Dunia Ketiga”.
Dengan berpijak pada tiga
doktrin, yaitu Liberalisasi (kebebasan dalam arti ekonomi), Diregulasi
(tidak adanya Negara yang mengatur lalu lintas barang/jasa dan tidak ada
subsidi bagi rakyat), serta Privatisasi (swastanisasi, BUMN harus
dijual kepada pihak swasta, Pemodal, atau Investor), Neo-liberialisme berjalan melewati setiap
Negara yang sudah tidak berdaya karena lilitan Hutang Luar Negeri (HLN). Dengan
tekanan HLN inilah para Negara Door-Kapitalis (Uni Eropa, USA, dan
Jepang) membuat peraturan-peraturan yang dipaksakan bagi “Negara Dunia Ketiga” untuk meliberalisasi kehidupan
ekonominya. Dalam konteks perekonomian, pasar semisal, kita mengenal pasar
berkelas Positivistik (harga pas) yang bertujuan meruntuhkan pasar
tradisional (tawar-menawar).
Lembaga-lembaga seperti
International Monetary Found (IMF), Paris Club, CGI, dan WTO menjadi sangat efektiv dalam melakukan
kerja-kerja Imperialisme dengan baju Globalisasi. Setelah (peraturan bea dan
cukai dan lain-lain) perdagangan bebas sudah bisa dikendalikan, perusahaan-perusahaan yang
dimiliki Negara Kapitalis yang sering disebut dengan Trans National
Coorporation (TNC) dan Multi National Coorporation (MNC) mulai menancapkan
kukunya di negeri ini yang bertujuan mendominasi dan penghisaban. Pada saat
inilah, budaya lokal dan aset kekayaan alam lainnya akan disedot habis oleh
investor asing dan akhirnya kita menjadi terasing di Negeri sendiri. Dan yang
lebih parah, kita menjadi budak di Negeri sendiri dengan upah yang sangat
murah.
Dalam relasi penindasan
demikian, masyarakat kita sebagian besar berada di posisi yang semakin memprihatinkan.
Petani tidak bisa menjual gabah dan padinya dengan harga yang tinggi karena
kalah bersaing dengan padi yang ada di luar. Hal yang sama kita jumpai pada hal
komoditas gula, buah-buahan dan barang keseharian lainnya. Dalam kondisi itu
Negara sudah tidak berdaya lagi karena tekanan dari lembaga donor untuk tidak
memberikan subsidi pada rakyat. Kenaikan BBM, listrik, dan telepon adalah imbas
dari pemotongan subsidi demi pembayaran hutang. Demikian dengan biaya
pendidikan, juga bisa dilihat dari perspektif ini. UU no. 20 tahun 2003 tentang
SISDIKNAS adalah gambaran dari gelagat Negara yang ingin melepas tanggung
jawabnya atas subsidi pendidikan, sehingga membuka peluang terjadinya ”Kapitalisasi Pendidikan”. Persoalan
bertambah runyam ketika pondasi perekonomian kita semakin lemah dan berimbas
pada sektor tenaga kerja yang semakain kehilangan lapangan
pekerjaan.
Dalam konteks semakin cepatnya laju dan arus
Globalisasi, kita malah secara politik semakin sibuk dengan kepentingan
pertarungan kelompok-kelompok elit yang sebagian besar tidak memihak rakyat.
Pertarungan elit, baik pada level
Eksekutif,
Legislatif, Yudikatif, Pengusaha,
sampai pada Partai Politik yang mulai melibatkan
kekuatan Media,
akhirnya berimbas pada kehidupan sosial politik masyarakat yang semakin terpecah belah. Separatisme, konflik berbasis SARA adalah beberapa contoh
yang bisa disebutkan sebagai imbas dari amburadulnya Budaya Politik di level
Negara. Di sisi Budaya kita digiring untuk menjadi orang yang tercerabut dari
akar sejarah dan budayanya. Kita semakin bangga kalau kita semakin ke-Barat-baratan (westernisasi)
dan bisa meniru mereka pada sisi kehidupan yang sekecil-kecilnya (identifikasi). Kita tidak sadar sedang didorong untuk menjadi konsumen
pasar yang dibuka oleh orang Barat. Watak ini dalam bangsa kita sering disebut
dengan watak Inlander (Hasyim Wahid: 2001).
Dampak lain dari
Globalisasi, adalah semakin mengentalnya paham-paham keagamaan yang akhirnya
melahirkan gerakan-gerakan Fundamental. Islam adalah Agama yang sering menjadi
sorotan dalam kaitannya dengan fenomena ini, terutama dengan kerja-kerja
terorisme yang semakin hari semakin merebak. Peristiwa 11 September (Black
Tuesday), Bom Bali, Bom J.W Marriot, dan tragedi pengeboman
yang lain semakin meyakinkan asumsi
bahwa fundamentalisme Agama sebagai sebuah Resistensi Globalisasi yang
sangat West-biased (Bias Barat); atau bisa dikatakan Fundamentalisme
Pasar sedang berhadapan dengan Fundamentalisme Agama (Islam).
Walaupun Fundamentalisme
Islam melawan Kapitalisme Barat, akan tetapi dalam konteks nalar sosial keagamaannya,
pemahaman tekstual (skriptualistik) terhadap ajaran dan doktrin Agama sangat
kental. Ruang-ruang ekspresi kontekstual semakin sempit, dan ajaran akhirnya
dipahami sebagai sesuatu yang sangat kaku dan baku, karena pluralitas tidak
menjadi bagian dalam kesadaran
tafsir mereka. Sehingga gerakan Fundamentalis Islam cendrung gampang mengkafirkan (takfir)
dan menggunakan kekerasan terhadap orang yang tidak satu pendapat dengannya dan
menggolongkannya sebagai ”the others”.
Dari sekian
pembacaan-pembacaan atas situasi penindasan dan situasi kemasyarakatan di atas,
kita mencoba membuat sebuah pola umum untuk memudahkan membuat strategi
perlawanan dan situasi-situasi apa saja yang harus diperbuat, jangan sampai kita selaku yang sadar
gerakan justru menjadi buta dalam melihat.
Masyarakat terbagi dalam Tiga
Lokus (Eman Hermawan: 2001), yaitu: Civil
Society (masyarakat sipil), Political Society (masyarakat politik), dan Economical Society
(masyarakat ekonomi). Dalam kerangka ini,
Strategi dan Taktik Gerakan PMII akan dijelaskan dengan tetap memakai kerangka ”liberasi dan
independensi”, dan dengan menggunakan Paradigma Kritis Transformatif.
Rumusan Strategi Gerakan berdasarkan pembagian
Lokus Masyarakat kiranya dapat
disederhanakan dalam tabel berikut:
No.
|
Lokus Masyarakat
|
Strategi Gerakan
|
1
|
Civil Society
(masyarakat sipil, Ormas, LSM, Germa, dan kelompok masyarakat)
|
Menciptakan
budaya alternative
o Mempertahankan
kesadaran bahwa kita memiliki budaya.
o Membentuk
kelompok-kelompok studi kebudayaan.
Menciptakan kesadaran lokalitas (nasionalisme)
o Pendidikan
politis-idealis untuk rakyat.
o Advokasi, pendampingan, dan pengorganisiran
rakyat
o Advokasi
kebijakan.
Menciptakan
kemandirian ekonomi
o Membangun
ruang-ruang ekonomi kerakyatan (koperasi dll.).
o Pengorganisasian
ruang-ruang ekonomi rakyat anti positivistic kapitalistik.
Mewujudkan pendidikan untuk rakyat (kurikulum berbasis
kerakyatan, sekolah geratis, KHP (Kritis Humanis dan Profesional).
o Menciptakan
sekolah-sekolah alternatif.
o Pressure kebijakan pendidikan.
|
2
|
Political
Society
(masyarakat politik, Negara, dan partai politik)
|
Negara
Penguatan posisi Negara terhadap pasar dan negara
kapitalis
o Advokasi
kebijakan.
Pergerakan
supremasi hukum
o Advokasi
kebijakan.
Partai politik
Membangun
ruang bargaining rakyat dengan partai politiik
o Kotrak
sosial/politik.
|
3
|
Economic
Society
(masyarakat ekonomi: pengusaha pribumi, investor,
spekulan, MNC/TNC)
|
Menciptakan keseimbangan pasaar Negara-negara civil society
o Kontrak
sosial/politik.
Membangun kantong-kantong kontrol rakyat terhadap
pasar dan kebijakan ekonomi
o Menciptakan
kelompok-klompok studi ekonomi dan kebijakan pasar.
o Menciptakan
serikat-serikat buruh.
|
Strategi yang masih
merupakan pola umum dalam konteks perlawanan, harus diterjemahkan dan
dikerucutkan dalam kerja-kerja taktis. Antonio Gramsci (1956) membagi tiga wilayah
gerakan atau perang (war), yaitu: War of Position (perang
posisi), War of Opinion (perang opini), dan War of Movement
(perang gerakan). Ketiga wilayah gerakan ini
menjadi landasan awal untuk membingkai Strategi Gerakan PMII saat ini.
Dari uraian Gramsci di
atas, konteks pergerakan harus memenuhi Tiga Ruang yaitu: ruang Penegasan Jati
Diri Organ atau posisi sikap sejarah terhadap situasi yang sedang berlangsung,
ruang Dialektika Pemikiran dan Gagasan sebagai dasar rasionalitas atau posisi
yang dipilih, dan Ruang Praktis yang menjadi indikator perubahan dengan
dorongan konkrit baik di level kader maupun masyarakat.
Secara jelas, derivasi taktik dan masing-masing
ruang dijelaskan dalam bagan sebagai berikut:
War of Position
|
War of Opinion
|
War of Movement
|
- NDP
Hubungan
manusia dengan Tuhan.
Hubungan
manusia dengan manusia.
Hubungan
manusia dengan alam.
-ASWAJA
1Tawasuth (moderat-pola pikir): [Agama: teologi, fiqh, tasawuf,
Filsafat: sunnah, rasionalitas].
2.Tasammuh (toleran-pola sikap) (perbedaan pluralisme) [Agama:
internal agama, antar agama. Budaya: Ras, adapt, suku, bahasa].
3.Tawazun (keseimbangan – pola hubungan) [Sosial:
egalitarianisme.
Politik: rakyat><Negara. Ekologi:
alam><Manusia Ekonomi:
[Negara-Pasar-masyarakat].
4. Ta’adul (Keadilan-pola
integral)[nilai universal]
5. PKT (Paradigma kritis transformatif).
|
1.Konteks
Gagasan
Tentang
masyarakat
Tentang Negara
Tentang
pasar
2.Manajemen
issu
Basis
intelektual kader (injeksi dan doktrin kesadaran)
Basis media (penyedia
media transformasi gagasan)
Basis Massa (investasi
kesadaran)
|
1.Kaderisasi
Formal (PKD,PKM,PKL)
Informal (pelatihan2)
Non
formal (kantong2 kader: Parpol, FAMJ BIGBANG, SANGAR JEPIT, MMJ, Dll.)
2.Gerakan
horizontal
(pengorganisiran)
<![if !supportLists]>§ <![endif]>Level kampus
<![if !supportLists]>§
<![endif]>Level organ gerakan
<![if !supportLists]>§
<![endif]>Level Organ massa
Level
massa rakyat
3. Gerakan vertical (desakan terhadap otoritas)
Kuasa kebijakan publik
Kuasa sosial ekonomi
Kuasa Agama
Lain-lain
|
Bagaimanapun gerakan harus
diwujudkan. Seandainya basis massa belum diraih, maka tidak ada alasan untuk
diam. Aksi massa harus segencar mungkin dilaksanakan untuk mendorong semangat
perubahan, sekaligus mencari momentum untuk memberi injeksi kesadaran bagi
masyarakat.
COMMENTS