Siapakah aku? Menjawab soal yang demikian belum cukup kita berangkat dari ruang teoritis seperti yang ditawarkan banyak oleh para p...
Siapakah
aku?
Menjawab
soal yang demikian belum cukup kita berangkat dari ruang teoritis seperti yang
ditawarkan banyak oleh para pemikir. Tawaran dari para pemikir sebenarnya ruang
pembuka untuk diskusi selanjutnya, sebagai bahan perenungan saja, bukan
dijadikan patokan untuk diikuti. Karena, tawaran itu hanyalah sekelumit hasil
dari pemikir yang selebihnya tergantung kita yang hendak untuk
mengaktualisasikannya. Hal itu sebuah asumsi dengan seabrek janji yang tidak
mungkin mengena dengan realitas yang kita alami. Untuk mendendangkan realitas
itu tidak mungkin sama dengan apa yang pernah berkelindan di sekitar kita, jika
kita terlalu memaksakan kehendak pemikir, maka hal konyol yang akan kita
dapatkan.
Upaya
pemikir itu media yang lahir dari benua kegelisahan mereka. Kegelisahan itu
tidak mungkin sama dengan kegelisahan yang pernah kita alami. Terkadang banyak
teori hanya akan menjadi sampah dari dunianya. Sejatinya, teori hanyalah hasil
proses bukan hasil riil. Tetapi, untuk dijadikan bahan perbincangan mungkin
menarik. Sebagai bahan aktulitas, mungkin kita harus mendiskusikan dengan diri
kita sendiri.
Pertanyaan
di muka, bagi saya suatu hal yang didasarkan kepada kita sebagai mahluk yang
ingin melintasi ruang-waktu atau terlepas dari keduanya. Hal itu didasarkan
pada kesadaran kita untuk mendendangkan lagu-lagu kerinduan terhadap upaya
pengenalan diri. Sebab, kita tidak akan pernah merasakan gelombang hidup, jika
kita apatis terhadap keadaan diri kita sendiri. Pengenalan diri sebentuk
keindahan (estetika) yang berkelindan hadir sebagai ritus paling sacral dalam
sejarah lahirnya manusia. Bagaimana kita mengenal diri kita sendiri?
Di suatu waktu,
seorang atheis kelahiran Jerman pernah berkata lantang sambil berteriak di
kerumunan orang-orang yang melintas di dekatnya. Orang-orang yang hanya terlena
oleh sihir modernitas yang konyol. Apalagi oleh kekayaan materialitas yang
stagnan pada pengejaran pada sebatas keduniawaan saja. Tanpa ada upaya untuk mengenali
dirinya sendiri sebagai seorang yang bernilai. Padahal, untuk pengenalan diri
tuntutan yang harus ditelurkan dalam jejak kesehariannya dalam mengarungi hidup
yang sebentar ini. Hanya berbatas pandang dengan kematian.
“Ya! Dari
mana asalku kutahu pasti. Tak terkenyangkan bagai api aku membara habisi diri.
Segala kupegang menjelma cahaya, yang kulepas arang belaka: pastilah aku api
sejati.” ( Nietzsche, Syahwat Keabadian, (Jakarta: Komodo Books, 2010), hlm 65.)
Juga tidak
jauh dengan apa yang dikatakan oleh sufi besar, Jalaluddin Maulana Rumi.
“Kujenguk ke dalam hatiku
sendiri. Ya, di sana aku melihat-Nya, Ia tidak tempat lain ternyata.” (Abdul Hadi WM, Rumi Sufi dan Penyair (Bandung: Penerbit Pustaka, 1985), hlm 36.)
Keadaan
inilah yang kemudian menjadi ruh terbesar bagi manusia, utamanya Mohammad
Iqbal, dengan senandungnya yang lembut.
“Hasrat sang hidup adalah
berekspresi diri. Dia menjawab:”karena pengungkapan diri mendarah daging dalam
diri kita. Hidup berusaha mewujudkan diri,demi meraih bukti yang terlihat bagi
kemuliannya. Kala perakitan ini di hias oleh tuhan,eksistensi akan menemukan
bukti dirinya sendiri. Apakah engkau hidup atau mati sekarat?Tiga saksi akan
melaporkan keadaanmu.Pertama sebagai saksi adalah kesadaran diri,untuk melihat
dirimu dengan cahayamu sendiri.Kedua sebagai saksi adalah kesadaran lainnya
yangengkau nyalakan untuk melihat dirimu. Dan ketiga sebagai saksi adalah
kesadaran tuhan,cahaya yang padanya engkau dapat melihat dirimu.” (Mohammad Iqbal, David Nama (Ziarah Abadi). (Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru, 2000), hlm 14.)
Mereka semua
bergerak (proses) untuk menemukan diri mereka sendiri serta mencari kepastian
hidup. Mereka menuju diri mereka sendiri, mementaskan lakon hidup yang memang
perlu perjuangan. Mereka menyelami hidup mereka secara personal, lantas
menemukan ruang yang tak bertepi dengan keluasan cakrawala. Kemudian, mereka
menjalaninya dengan penuh sungguh yang pasti, bahwa hidup memang penting untuk
dijadikan nilai pijakan setelah bertemu dengan diri mereka sendiri.
Sepantasnya, nilai luhur diri yang begandengan dengan kesadaran dijadikan
pijakan yang lebih berarti dari suatu ungkapan yang hanya berpijak pada teori
belaka.
Perihal yang
demikian, manusia tidak boleh hanya mengkaji soal kehidupan dirinya saja
(insider), melainkan harus melibatkan dirinya pada kejadian atau peristiwa
kehidupan di luar dirinya (outsider). Sejatinya, mereka harus menjalankan roda
kehidupan atau mengenal dirinya sebagai diri sendiri dan diri yang menjalin
dengan hubungan dengan di luar. Langkah ini, dibuktikan dengan aktualitas
dirinya hadir pada diri sendiri, dan turut menjawab segala aspek atau
memikirkan dengan telaah serta kajian di luar juga.
Dalam (insider)dan luar (outsider) dua wilayah yang
saling mengisi, perlu ditelaah dan dibaca secara keseluruhan sebagai langkah
yang konkret untuk menemukan diri yang merdeka. Semoga bermanfaat.
COMMENTS